Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gentrifikasi Rempang: Kolonialisme Legal di Tanah Merdeka

19 September 2023   06:41 Diperbarui: 20 September 2023   07:15 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentrok antara warga yang menolak pengukuran lahan dan tim gabungan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri) (DOK BP BATAM via kompas.com)

Prahara Rempang hari-hari ini mengingatkanku pada satu episode serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dikisahkan Babe Sabeni dan keluarganya, termasuk Si Doel anaknya, napak tilas ke kampung asalnya. Tiba di satu titik, mereka menggelar tikar lalu duduk makan bersama. Titik lokasi itu ternyata adalah titik tengah Stadion Utama GBK Senayan.

Itu sebuah humor satir, mengundang tawa getir. Komplek GBK Senayan itu aslinya memang perkampungan etnik Betawi. Saat Presiden Soekarno membangunnya (1960-1962) untuk keperluan Asian Games IV (1962), etnik Betawi pemukim aslinya direlokasi ke kawasan baru, pemukiman Tebet sekarang.

Aku membayangkan, jika pada akhirnya Kawasan Terpadu Rempang Eco City berdiri di atas basis kekuasaan yang kursif, mengusir paksa warga asli, suatu saat kelak mungkin akan ada keluarga etnik Orang Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut yang datang napak tilas ke sana. 

Tiba di sana mereka lantas menggelar tikar, duduk makan bersama di lapangan parkir pabrik kaca Xin Yi milik pengusaha China. Kepala keluarganya mungkin akan berkata mepada anak-anaknya, "Di sini dulu kakek-nenek buyutmu berumah."

Hal semacam itu, jika terjadi dan mungkin saja terjadi, menunjuk pada sisi kelam penggusuran komunitas asli: tragedi. Menggelikan tapi juga memilukan. Sesuatu yang terasa kentir tetapi sekaligus getir.

Tragedi penggusuran bukanlah hal baru di negeri ini, juga di negeri orang. Semenjak pertumbuhan kota dan industri melahirkan gejala gentrifikasi, penguasaan tanah oleh kelas elite industrialis dan pengembang, tragedi penggusuran telah menjadi keniscayaan. Tak ada pembangunan kota dan industri tanpa penggusuran, kecuali itu cuma di bibir.

Warga Rempang di Kepulauan Riau sana kini sedang menghadapi risiko penggusuran, sebagai konsekuensi gentrifikasi atas tanah pulau itu. Sudah ada ultimatum, tanggal 28 September 2023, tanah Rempang harus clean and clear. Warga harus pindah ke areal relokasi di Pulau Galang. Polisi dan tentara siap mengamankan, kalau perlu memiting warga yang resisten. Yo mesti kalah.

Tapi apakah warga asli Rempang, yaitu Orang Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut yang leluhurnya diperkirakan sudah bermukim di pulau itu sejak awal abad ke-19 (1834), harus digusur? Apakah tidak ada solusi sosio-planologis yang bisa mengakomodir kampung-kampung asli (16 unit) sebagai bagian integral dari Rempang Eco City?

***

Kita samakan persepsi dulu tentang gentrifikasi. Akar katanya gentry (Inggris), tuan tanah luas yang menempati posisi kelas elite aristokrat, persis setingkat di bawah kelas ningrat. Pada posisi itu, gentry lazimnya juga menjadi kelas penguasa (ruling class).

Gentrifikasi dengan demikian merujuk pada gejala kehadiran para "tuan tanah" baru yang memegang hak penguasaan atas suatu kawasan yang diproyeksikan sebagai bagiian dari pengembangan kota dan industri. Secara spesifik di Indonesia "tuan tanah" baru itu adalah perusahaan-perusahaan pengelola kawasan ekonomi terpadu dan pengembang (developer) perumahan, perkantoran, dan kota mandiri.

Gejala gentrifikasi oleh "tuan tanah" baru itu sangat mudah dikenali. Lazimnya tampil dalam format kawasan (industri, perdagangan, wisata. Di Jakarta misalnya ada Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Pulogadung. Di Cikarang ada Kawasan Industri Jababeka dan Kota Mandiri Delta Mas. Di Tangerang ada BSD City dan di Bogor ada Sentul City. 

Dalam kasus Rempang kini, "tuan tanah" baru itu adalah BP Batam yang memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Rempang dan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang memegang HGU di atas HPL Rempang. BP Batam hadir di Rempang tahun 1973 sedangkan MEG tahun 2004. Di bawah panji Proyek Strategis Nasional (2023), keduanya bekerjasama mengembangkan Kawasan Ekonomi Terpadu Rempang Eco City seluas 7.572 ha (HPL dalam proses) -- 46 persen dari total luas pulau (16.583 ha).

Rempang Eco City kini sedang mempersiapkan karpet merah menyambut kedatangan investor kakap dari China, Xin Yi Group yang akan membangun industri hilir pengolahan pasir kuarsa dan silika menjadi kaca. Disebutkan Xin Yi akan menanam investasi sebesar Rp 381 triliun secara bertahap sampai 2080. Investasi ini diperkirakan akan menyerap 306.000 tenaga kerja.

Demi kedatangan Xin Yi itulah pemerintah kini melancarkan kuasanya untuk memastikan 7.572 ha tanah Rempang clean and clear. Jelas status hukum penguasaan tanahnya, dan bersih dari klaim pihak lain atau sengketa pertanahan. Tahap pertama harus dikosongkan 2.300 ha, termasuk 4 kampung di dalamnya.  Untuk itulah 7.500 jiwa warga Rempang harus digusur atau, istilah eufemis, direlokasi ke Pulau Galang.

Gentrifikasi di Rempang, seperti juga di tempat lain di negeri ini, dapat disebut sebagai bentuk kolonialisme formal di tanah merdeka. Dikatakan formal karena dilakukan dengan dasar hukum kuat, berupa undang-undang terkait pertanahan dan terkait investasi domestik dan asing. Atas dasar itu, warga Rempang yang sejatinya tinggal di tanah merdeka harus menyingkir. 

Sebab Tanah Rempang kini bukan lagi "tanah merdeka". Hak atas tanah negara itu, semula dipegang Kementerian LHK, kini sudah diserahkan ke entitas BP Batam (HPL) dan MEG (HGU). Warga asli yang leluhurnya sudah tinggal di sana sejak NKRI belum lahir, tak punya hak apapun. Status mukim mereka ilegal, tak ada sertifikat atau dasar hukum lainnya. 

Padahal dulu, awal 1970-an sejak Kawasan Barelang (Batam-Rempang-Galang) dicanangkan, sebenarnya bisa saja KLHK mengeluarkan 16 kampung asli Rempang dari kawasan "hutan negara". Tapi itu tak dilakukan karena konsep dasarnya adalah "kolonialisme". Walau watak kolonialis itu disamarkan dengan istilah pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi nasional atau hub ekonomi global. Demi menyaingi Singapura dan Malaysia, katanya.

***

Rempang belum kiamat bagi warga asli di 16 kampung tua. Masih bisa menghitung hari sampai 28 September 2023. Masih cukup panjang waktu bagi Pak Presiden RI untuk memberi pengakuan pada hak mukim penduduk asli Rempang.

Mohon izin memberi sedikit masukan, Pak Presiden. Jiwa "kolonialisme" yang menggerakkan langkah para "tuan tanah" baru di negeri ini telah menciptakan kawasan-kawasan yang terlarang bagi penduduk asli. Rancang-bangun kawasan-kawasan industri dan kota-kota mandiri selalu menggusur penduduk asli ke wilayah periferal. Sekalipun itu istilahnya relokasi berdasar skim ganti untung. 

Hal serupa terjadi juga dalam kasus Rempang Eco City. Tak tertutup kemungkinan kelak akan terjadi juga jika, misalnya, ada proyek Galang Eco City. Warga Rempang yang baru direlokasi ke sana, bila demikian akhir kisah, akan digusur ke laut mana lagi?

Tidakkah lebih bijak, juga manusiawi, bila rancang-bangun Rempang Eco City dikoreksi dengan cara mengintegrasikan 16 kampung tua, kemudian direvitalisasi, ke dalam kawasan pengembangan itu? 

Sekurangnya ada lima alasan untuk mengambil kebijakan semacam itu, Pak Presiden.

Pertama, penting untuk memastikan suatu proyek pembangunan kawasan ekonomi tidak berdampak disintegrasi sosial, dengan cara mempertahankan dan memberi fungsi baru (revitalisasi) pemukiman-pemukiman asli warga. Bukannya mengusir warga ke luar kawasan, sehingga justru menimbulkan disintegrasi atau bahkan polarisasi sosial. 

Integrasi desa itu bisa dengan cara meningkatkan kualitas desa yang ada tanpa memindahkannya. Bisa pula, kalau tak mungkin dipertahankan lokasinya, direplikasi di tempat baru tapi masih di kawasan sebentang. Dalam kasus Rempang, ya, tetap di pulau Rempang. Pilihan-pilihan itu diterapkan lewat komunikasi dengan komunitas setempat.

Kedua, penting bagi setiap "tuan tanah" aktor gentrifikasi yang mengusung konsep"eco(logy" seperti Rempang Eco City itu konsisten pada definisi ekology (atau ekosistem) yang tak hanya menyangkut lingkungan fisik tapi juga lingkungan sosial.

Pak Meninves bilang Rempang Eco City itu menerapkan konsep "green industry". Bahasa Indonesianya industri ramah lingkungan. Tak hanya lingkungan fisik, tapi juga sosial. Jadi tolong diingatkan juga Pak Meninves, bahwa tak ada industri ramah lingkungan mengusir penduduk asli.

Ketiga, integrasi kampung-kampung asli di Rempang Eco City tak akan menjatuhkan nilai proyek itu di mata investor. Justru sebaliknya akan menjadi nilai tambah bagi kawasan karena bisa menjadikan kampung asli sebagai bagian dari supporting system. Perusahaan yang berinvestasi di kawasan ramah lingkungan sosial (dan fisik) semacam itu justru akan mendapat apresiasi di pasar modal. Harga sahamnya bisa naik.

Keempat, sudah terlalu lama di negeri merdeka ini penduduk asli diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek pembangunan. Jika warga asli diintegrasikan status dan perannya sebagai subyek Rempang Eco City, niscaya proyek ini akan menjadi success story pembangunan ramah sosial yang bakal mendulang penghargaan dunia.

Kelima, menghilangkan suatu kampung asli yang sudah berusia ratusan tahun layak dipertimbangkan sebagai "kejahatan budaya", penggelapan sejarah dan artefak budaya sebuah etnis ataupun sub-etnis nusantara.

Jadi, seperti seorang presiden negara adikuasa yang konon memegang tombol bom nuklir, Pak Presiden kini juga sejatinya sedang memegang tombol "kiamat" warga Rempang. 

Aku berharap, Pak Presiden membuang tombol itu ke laut. Agar Rempang tak rempong lagi. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun