Hanya beberapa hari setelah tabrakan yang merenggut tujuh nyawa di Lenteng Agung, fenomena pemotor lawan arah sudah kembali marak di ruas jalan yang sama. Â Seolah-olah tidak pernah terjadi kecelakaan tragis di situ.
Boleh dikata para pemotor itu setia melawan arah sampai mati di jalanan. Mereka bukan tak sadar melawan arah bisa membahayakan nyawa mereka dan orang lain. Tapi mental terabas telah mendarah daging sehingga mereka beranggapan melawan arah bukanlah kejahatan, melainkan semata siasat efisiensi. Prinsipnya, kalau bisa dekat kenapa harus jauh.
Para pemotor pelawan arah di satu sisi memang tampak mengumbar egoisme dan keserakahan. Â Menguasai ranah publik yang menjadi hak orang lain untuk kepentingan sendiri. Tapi di lain sisi, mereka menganggap tindakannya sebagai pemenuhan haknya juga atas ranah publik.
Perlu dicatat fenomena mental terabas itu tak terbatas melawan arah di jalanan. Tapi juga berputar atau berhenti di sembarang tempat, menyerobot jalur kendaraan lain, serta menerobos zebra cross dan lampu merah. Semua itu  hanya menyumbang pada angka kecelakaan, tapi juga kemacetan di jalan raya.
Kematian tak menghentikan fenomena melawan arah di jalanan, kecuali bagi si mati, tentu saja. Sebab orang tak memikirkan risiko mati saat melawan arah, tapi memikirkan manfaat cepat tiba di tujuan.Â
Satu-satunya cara untuk memupus gejala itu, yang nota bene adalah pelanggaran norma hukum positif, adalah penegakan hukum secara sistemik. Â Tidak sporadis semacam razia-razia dadakan. Tapi melalui program sosialisasi intensif dan internalisasi peraturan lalu lintas kepada masyarakat.
Penting bagi kepolisian untuk memfasilitasi pembentukan kelembagaan berupa kelompok-kelompok relawan penegak aturan lalu-lintas di akar rumput. Â Kelompok-kelompok itu dapat diberi wewenang terbatas penertiban lalu-lintas di wilayah domisili masing-masing.(eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H