Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melawan Arah Sampai Mati: Senjang Budaya dan Mental Terabas di Jalan Raya

4 September 2023   11:49 Diperbarui: 4 September 2023   19:12 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gejala pemotor melawan arah (Foto: via modifikasi.com)

Tujuh orang pemotor tewas akibat berkendara melawan arah sehingga menabrak truk pengangkut hebel di Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada Selasa 22 Agustus 2023. Demikian sari berita viral tentang sebuah kecelakaan maut akhir bulan lalu. 

Kabar kecelakaan itu mengingatkanku pada buku kecil Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974) karangan antropolog Prof. Koentjaraningrat. Buku itu terbit pertama kali nyaris setengah abad yang lalu. Tapi sejumlah tesis yang disampaikan penulisnya ternyata masih relevan sampai hari ini. 

Prof. Koentjaraningrat dalam buku itu memaparkan antara lain kaitan mentalitas orang Indonesia dan pembangunan.  Katanya ada dua pola mentalitas yaitu “mendukung” dan “tak mendukung” pembangunan nasional.

Khusus pola mentalitas yang tak mendukung pembangunan, salah satunya disebutkan "mentalitas menerabas".  Atau, untuk ringkasnya, sebut saja "mental terabas".  

"Mental terabas" adalah prodisposisi atau kecenderungan sikap dan tindakan seseorang mengambil "jalan pintas", dalam arti negatif atau melanggar norma untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya.

Seseorang yang bermental terabas cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.  Sebab pikiran dan tindakannya memang cenderung menyimpang dari norma sosial (kebisaan, tata-laku, adat/hukum) yang berlaku.  

Di negeri ini, fenomena mental terabas itu jamak terlihat jalan raya. Sebab jalan raya adalah panggung pertunjukan mentalitas para  penggunanya. Baik itu pejalan kaki maupun pengendara ragam jenis kendaraan.

Salah satu manifestasi mental terabas di jalan raya adalah fenomena berkendara melawan arah.  Pelakunya terutama adalah para pemotor. Inilah soal yang  hendak dibahas di sini.

Kebiasaan demi Efisiensi

Fenomena pemotor berkendara melawan arah dengan mudah disaksikan di jalan-jalan sekitar Jakarta. Di Jakarta Selatan saja, menurut identifikasi Polres Metro Jaksel, terdapat 31 titik rawan pemotor melawan arah. 

Lokasi kejadian tabrakan premotor dan truk di Lenteng Agung itu adalah salah satunya. 

Satu lagi yang sempat juga agak viral ada di sekitaran Tebet.  Diberitakan YouTuber Laurend Hutagalung yang sedang membuat konten edukasi tertib lalu lintas di situ, nyaris dikeroyok massa pemotor.  Pasalnya para premotor yang melawan arah tak terima disuruh putar balik ke jalur yang benar. 

Konten-konten di kanal YouTube Laurend Hutagalung TV menunjukkan betapa sulit mengarahkan para pemotor lawan arah ke jalan yang benar.  Tak jarang diwarnai oleh adu argumen, bentak-membentak, bahkan ada kalanya gesekan fisik.

Ada dua alasan yang paling sering diucapkan para pemotor lawan arah saat diminta putar balik.  “Sudah biasa lewat sini”  dan “Cuma dekat di situ.” Alasan pertama menunjuk pada “pembiasaan” (yang salah) dan yang kedua menunjuk pada tujuan “efisiensi”.

Itu artinya suatu tujuan yang baik (efisiensi) hendak diraih melalui pembiasaan cara yang salah.  Dalam kasus motor lawan arah berarti pembiasaan cara “lawan arah” yang nota bene  melanggar peraturan lalu-lintas (Pasal 287 UU Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22/2009).

Jadi melawan arah di jalan raya itu terbilang tindakan menghalalkan cara yang salah untuk mencapai tujuan yang baik.

Senjang Budaya dan Mental Terabas

Pembiasaan melawan arus di jalan raya itu bukan semata gejala kebebalan orang per orang.  Dia merujuk pada gejala senjang budaya (cultural lag) yaitu ketak-sejajaran perubahan unsur-unsur budaya dalam masyarakat,

Fenomena lawan arah itu merujuk pada kondisi perubahan budaya materil, dalam hal ini teknologi transportasi berupa motor, yang tidak diikuti oleh perubahan budaya immateril, dalam hal ini norma penuntun pikiran dan tindakan.  

Seharusnya di dalam kepala seorang pemotor meraja norma berkendara di jalan raya, sebagaimana diatur UU LLAJ. Faktanya tidak demikian.  Di kepalanya justru masih meraja norma pejalan kaki yang tak kenal konsep “lawan arah”. Pejalan kaki bebas berjalan sesuai ataupun melawan arah. Prinsipnya cari “jalan pintas”, jarak terdekat yang tak melelahkan dari satu ke lain titik. 

Jadi pemotor yang melawan arah itu adalah pengguna teknologi (budaya materil) maju yang dituntun oleh norma (budaya immateril) tradisional pejalan kaki. Dia melakoni naik motor selayaknya orang berjalan kaki. Dengan sendirinya kebiasaan “jalan pintas” pejalan kaki terbawa juga.

Masalahnya, saat pemotor mengambil “jalan pintas” melawan arah, dia telah melakukan pelanggaran norma peratuaran dan perundangan lalu-lintas. Dalam konteks pelanggaran itu, dia disebut sebagai orang yang bermental terabas. Dalam hal ini menerabas norma sosial yang berlaku di jalan raya.

Jelas di sini, ketak-sejajaran perubahan budaya materil dan budaya immateril pada para pemotor telah menjadikan mereka sebagai manusia bermental terabas di jalanan.

Sosialisasi dan Penegakan Hukum

Hanya beberapa hari setelah tabrakan yang merenggut tujuh nyawa di Lenteng Agung, fenomena pemotor lawan arah sudah kembali marak di ruas jalan yang sama.  Seolah-olah tidak pernah terjadi kecelakaan tragis di situ.

Boleh dikata para pemotor itu setia melawan arah sampai mati di jalanan. Mereka bukan tak sadar melawan arah bisa membahayakan nyawa mereka dan orang lain. Tapi mental terabas telah mendarah daging sehingga mereka beranggapan melawan arah bukanlah kejahatan, melainkan semata siasat efisiensi. Prinsipnya, kalau bisa dekat kenapa harus jauh.

Para pemotor pelawan arah di satu sisi memang tampak mengumbar egoisme dan keserakahan.  Menguasai ranah publik yang menjadi hak orang lain untuk kepentingan sendiri. Tapi di lain sisi, mereka menganggap tindakannya sebagai pemenuhan haknya juga atas ranah publik.

Perlu dicatat fenomena mental terabas itu tak terbatas melawan arah di jalanan. Tapi juga berputar atau berhenti di sembarang tempat, menyerobot jalur kendaraan lain, serta menerobos zebra cross dan lampu merah. Semua itu  hanya menyumbang pada angka kecelakaan, tapi juga kemacetan di jalan raya.

Kematian tak menghentikan fenomena melawan arah di jalanan, kecuali bagi si mati, tentu saja. Sebab orang tak memikirkan risiko mati saat melawan arah, tapi memikirkan manfaat cepat tiba di tujuan. 

Satu-satunya cara untuk memupus gejala itu, yang nota bene adalah pelanggaran norma hukum positif, adalah penegakan hukum secara sistemik.  Tidak sporadis semacam razia-razia dadakan. Tapi melalui program sosialisasi intensif dan internalisasi peraturan lalu lintas kepada masyarakat.

Penting bagi kepolisian untuk memfasilitasi pembentukan kelembagaan berupa kelompok-kelompok relawan penegak aturan lalu-lintas di akar rumput.  Kelompok-kelompok itu dapat diberi wewenang terbatas penertiban lalu-lintas di wilayah domisili masing-masing.(eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun