Satu lagi yang sempat juga agak viral ada di sekitaran Tebet. Diberitakan YouTuber Laurend Hutagalung yang sedang membuat konten edukasi tertib lalu lintas di situ, nyaris dikeroyok massa pemotor. Pasalnya para premotor yang melawan arah tak terima disuruh putar balik ke jalur yang benar.
Konten-konten di kanal YouTube Laurend Hutagalung TV menunjukkan betapa sulit mengarahkan para pemotor lawan arah ke jalan yang benar. Tak jarang diwarnai oleh adu argumen, bentak-membentak, bahkan ada kalanya gesekan fisik.
Ada dua alasan yang paling sering diucapkan para pemotor lawan arah saat diminta putar balik. “Sudah biasa lewat sini” dan “Cuma dekat di situ.” Alasan pertama menunjuk pada “pembiasaan” (yang salah) dan yang kedua menunjuk pada tujuan “efisiensi”.
Itu artinya suatu tujuan yang baik (efisiensi) hendak diraih melalui pembiasaan cara yang salah. Dalam kasus motor lawan arah berarti pembiasaan cara “lawan arah” yang nota bene melanggar peraturan lalu-lintas (Pasal 287 UU Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22/2009).
Jadi melawan arah di jalan raya itu terbilang tindakan menghalalkan cara yang salah untuk mencapai tujuan yang baik.
Senjang Budaya dan Mental Terabas
Pembiasaan melawan arus di jalan raya itu bukan semata gejala kebebalan orang per orang. Dia merujuk pada gejala senjang budaya (cultural lag) yaitu ketak-sejajaran perubahan unsur-unsur budaya dalam masyarakat,
Fenomena lawan arah itu merujuk pada kondisi perubahan budaya materil, dalam hal ini teknologi transportasi berupa motor, yang tidak diikuti oleh perubahan budaya immateril, dalam hal ini norma penuntun pikiran dan tindakan.
Seharusnya di dalam kepala seorang pemotor meraja norma berkendara di jalan raya, sebagaimana diatur UU LLAJ. Faktanya tidak demikian. Di kepalanya justru masih meraja norma pejalan kaki yang tak kenal konsep “lawan arah”. Pejalan kaki bebas berjalan sesuai ataupun melawan arah. Prinsipnya cari “jalan pintas”, jarak terdekat yang tak melelahkan dari satu ke lain titik.
Jadi pemotor yang melawan arah itu adalah pengguna teknologi (budaya materil) maju yang dituntun oleh norma (budaya immateril) tradisional pejalan kaki. Dia melakoni naik motor selayaknya orang berjalan kaki. Dengan sendirinya kebiasaan “jalan pintas” pejalan kaki terbawa juga.
Masalahnya, saat pemotor mengambil “jalan pintas” melawan arah, dia telah melakukan pelanggaran norma peratuaran dan perundangan lalu-lintas. Dalam konteks pelanggaran itu, dia disebut sebagai orang yang bermental terabas. Dalam hal ini menerabas norma sosial yang berlaku di jalan raya.
Jelas di sini, ketak-sejajaran perubahan budaya materil dan budaya immateril pada para pemotor telah menjadikan mereka sebagai manusia bermental terabas di jalanan.