Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melawan Arah Sampai Mati: Senjang Budaya dan Mental Terabas di Jalan Raya

4 September 2023   11:49 Diperbarui: 4 September 2023   19:12 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu lagi yang sempat juga agak viral ada di sekitaran Tebet.  Diberitakan YouTuber Laurend Hutagalung yang sedang membuat konten edukasi tertib lalu lintas di situ, nyaris dikeroyok massa pemotor.  Pasalnya para premotor yang melawan arah tak terima disuruh putar balik ke jalur yang benar. 

Konten-konten di kanal YouTube Laurend Hutagalung TV menunjukkan betapa sulit mengarahkan para pemotor lawan arah ke jalan yang benar.  Tak jarang diwarnai oleh adu argumen, bentak-membentak, bahkan ada kalanya gesekan fisik.

Ada dua alasan yang paling sering diucapkan para pemotor lawan arah saat diminta putar balik.  “Sudah biasa lewat sini”  dan “Cuma dekat di situ.” Alasan pertama menunjuk pada “pembiasaan” (yang salah) dan yang kedua menunjuk pada tujuan “efisiensi”.

Itu artinya suatu tujuan yang baik (efisiensi) hendak diraih melalui pembiasaan cara yang salah.  Dalam kasus motor lawan arah berarti pembiasaan cara “lawan arah” yang nota bene  melanggar peraturan lalu-lintas (Pasal 287 UU Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22/2009).

Jadi melawan arah di jalan raya itu terbilang tindakan menghalalkan cara yang salah untuk mencapai tujuan yang baik.

Senjang Budaya dan Mental Terabas

Pembiasaan melawan arus di jalan raya itu bukan semata gejala kebebalan orang per orang.  Dia merujuk pada gejala senjang budaya (cultural lag) yaitu ketak-sejajaran perubahan unsur-unsur budaya dalam masyarakat,

Fenomena lawan arah itu merujuk pada kondisi perubahan budaya materil, dalam hal ini teknologi transportasi berupa motor, yang tidak diikuti oleh perubahan budaya immateril, dalam hal ini norma penuntun pikiran dan tindakan.  

Seharusnya di dalam kepala seorang pemotor meraja norma berkendara di jalan raya, sebagaimana diatur UU LLAJ. Faktanya tidak demikian.  Di kepalanya justru masih meraja norma pejalan kaki yang tak kenal konsep “lawan arah”. Pejalan kaki bebas berjalan sesuai ataupun melawan arah. Prinsipnya cari “jalan pintas”, jarak terdekat yang tak melelahkan dari satu ke lain titik. 

Jadi pemotor yang melawan arah itu adalah pengguna teknologi (budaya materil) maju yang dituntun oleh norma (budaya immateril) tradisional pejalan kaki. Dia melakoni naik motor selayaknya orang berjalan kaki. Dengan sendirinya kebiasaan “jalan pintas” pejalan kaki terbawa juga.

Masalahnya, saat pemotor mengambil “jalan pintas” melawan arah, dia telah melakukan pelanggaran norma peratuaran dan perundangan lalu-lintas. Dalam konteks pelanggaran itu, dia disebut sebagai orang yang bermental terabas. Dalam hal ini menerabas norma sosial yang berlaku di jalan raya.

Jelas di sini, ketak-sejajaran perubahan budaya materil dan budaya immateril pada para pemotor telah menjadikan mereka sebagai manusia bermental terabas di jalanan.

Sosialisasi dan Penegakan Hukum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun