"Hore! Wajib skripsi dihapus!" Para mahasiswa bersorak gembira. "Kita bebas dari teror bin horor skripsi!" teriaknya lega.
Tapi mereka salah! Beralih dari skripsi ke non-skripsi itu ibarat "lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya".
Maaf, aku terpaksa menggunakan pepatah itu. Sebab sebagian mahasiswa kadung melihat skripsi sebagai teror dan horor di ujung masa kuliah.
Sebenarnya juga, tugas akhir skripsi tidaklah ditiadakan. Sengaja atau tidak, medol dan medsos telah mendistorsi isi Permendikbudristek nomor 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.Â
Peraturan itu tak menghapus kewajiban skripsi. Tapi membuka opsi lain setara skripsi sebagai pengukur akhir kompetensi laik sarjana. Sebut saja itu opsi non-skripsi.
Ke depan prodi-prodi di kampus boleh menawarkan dua opsi jalur utama kelulusan sarjana. Pertama, jalur skripsi (tetap ada) dan, kedua, jalur non-skripsi semisal karya prototipe dan proyek.
Perluasan opsi tugas akhir itu dibuat agar kompatibel dengan keragaman kompetensi mahasiswa yang timbul sebagai hasil implementasi kebijakan Kampus Merdeka.Â
Program Kampus Merdeka itu bermuara pada sedikitnya dua tipe kompetensi pokok kesarjanaan: teoretikal dan praktikal.
Kompetensi teoretikal terutama menjadi kompetensi sarjana ilmu-ilmu humaniora, semisal antropologi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Fokusnya pada kemampuan analisis dan rekomendasi solutif.Â
Adapun kompetensi praktikal masih bisa dipilah menjadi tiga jenis.