Aku sendiri duduk di gerbong 2, gerbong campuran. Â Gerbong itu relatif lengang penumpang, sehingga aku tak perlu menggunakan previlese lansia. Aku bebas memilih mau duduk di bangku mana saja.
Sungguh nyaman melaju terayun-ayun dalam gerbong KRL bersih dan full AC menuju Rangkasbitung. Dua lelaki di bangku seberangku terlelap dalam duduknya sambil memeluk tas masing-masing. Seorang lelaki yang duduk di samping kananku juga teridur. Lelaki lain di bangku samping kanannya terserap oleh layar ponselnya.
Gerbong KRL itu tenang, bahkan cenderung hening. Semua penumpang silentium, berdiam diri. Kalau bukan terlelap, ya, terserap layar ponsel. Kondektur berdiri santai di pojok belakang, konsen menatap layar ponselnya. Ah, situasi hening yang mendukung penyiapan hati berziarah ke GMBK.
Penumpang terlelap di pagi hari, selain karena nyaman, pastilah juga karena merasa aman. Aman dari gangguan perjalanan, terutama kemungkinan kecelakaan.Â
Saat singgah di Stasiun Sudimara, aku mengenang ratusan korban Tragedi Bintaro 1. Tanggal 19 Oktober 1987, kereta api lokal Rangkas  (KA 225) yang baru berangkat dari Sudimara menuju Jakarta Kota "adu banteng" di jalur tunggal dengan kereta api Patas Merak (KA 220) yang melaju dari Kebayoran menuju Merak. Penyebabnya, kegagalan komunikasi persinyalan, waktu itu masih manual, saat pemberangkatan kereta dari Sudimara.
Risiko kecelakaan KRL semacam itu kini telah ditekan ke titik terendah lewat digitalisasi persinyalan yang presisif dan pengoperasian rel ganda. Itu sebabnya para penumpang, termasuk aku, merasa sangat aman.
Perjalanan ziarah naik KRL  ke GMBK Rangkasbitung literally adalah perjalanan menuju keheningan. Di tiap stasiun persinggahan, jumlah penumpang turun lebih banyak dibanding  yang naik. Dari Maja ke Rangkasbitung, penumpang di gerbong 2 tinggal seorang, aku sendiri. Seakan aku naik di "gerbong pribadi". Ah, nikmatnya perjalanan melawan arus "jam padat" di hari kerja.
Tepat pukul 08.21 WIB kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung. Seratus untuk KAI Commuter untuk ketepatan waktu ini. Itulah berkah elektrifikasi, digitalisasi, dan peremajaan KRL.
Kami berempat turun dari kereta dengan senyum syukur. Kartu-kartu tiket ditempel lagi pada panel card reader di turnstile gate pintu keluar. Terpotong dana Rp 8,000 per kartu atau per orang. Ongkos ini teramat jauh lebih murah ketimbang tiket bus umum dari Jakarta, termurah Rp 53,000 per orang.