Kalau bukan karena KRL Commuter Line, aku mungkin tak hendak pergi ziarah ke Gua Maria Bukit Kanada, Rangkasbitung, Lebak Banten.
Bagi umat Katolik Jakarta, Gua Maria Bukit Kanada (Kampung Narimbang Dalam), Rangkasbitung itu paling dekat secara geografis. Juga secara waktu tempuh. Dibanding gua terdekat lainnya, Gua Maria Tebar Kamulyan, Subang, Jawa Barat.
Menurut perkiraan Google Maps jarak dari rumah kami di kawasan Mampang ke sana, lewat jalan tol Merak, kurang-lebih  108 km. Perkiraan waktu tempuhnya, jika lancar, sekitar 2 jam.Â
Tapi aku bukanlah tipe pengemudi yang kuat menempuh jarak bolak-balik lebih dari 100 km dalam sehari. Karena itu opsi berkendara ke sana kubuang jauh dari pikiran.Â
Opsi terbaik adalah kendaraan umum. Alternatifnya bus atau kereta api. Kalau naik bus trip terbatas, waktu tempuh tak pasti, ongkos mahal, dan perlu energi ekstra untuk bersabar ngetem. Itu bukan pilihan yang bijak bagi keluarga.
Pilihan terbaik kiranya adalah kereta api listrik (KRL) Commuter Line. Itu moda transportasi paling unggul: praktis, cepat, aman, nyaman, murah, dan tepat waktu. Nanti, sambil berkisah, akan kujelaskan ikhwal nilai-nilai unggul itu.Â
***
Niat berziarah ke GMBK sudah ada sejak 2018. Niat itu timbul menyusul rampungnya elektrifikasi dan jalur ganda relasi Tanahabang-Rangkasbitung per 1 April 2017. Sejak tanggal itu KAI Commuter, anak perusahaan PT KAI, sepenuhnya mengoperasikan KRL untuk melayani perjalanan di Lin Rangkasbitung.Â
Mengapa harus menunggu pengoperasian KRL Commuter Line? Karena menurut pengalamanku di jalur Bogor-Jakarta Kota, KRL Commuter itu memenuhi kriteria unggul perjalanan praktis, aman, nyaman, murah, cepat dan tepat waktu.
Perjalanan semacam itulah yang kudambakan untuk ziarah ke GMBK. Sebab ziarah yang khusuk akan susah didapat bila didahului oleh perjalanan yang melelahkan dan tak nyaman.
Untuk pertama kalinya, niat kami ziarah ke GMBK terpenuhi pada 25 Januari 2023. Tertunda sebegitu lama karena kesibukan masing-masing anggota keluarga sepanjang 2018-2019. Kemudian juga akibat cekaman pandemi 2020-2022, dan penantian kelengkapan Vaksin Covid Dosis-3.
Memulai itu memang  sulit tapi melanjutkan mudah. Itu berlaku juga untuk kami. Setelah yang pertama, ziarah berikutnya menjadi lebih mudah. Ziarah-ziarah kami ke GMBK lantas menjadi terpola sebagai suatu perjalanan wisata rohani yang menyenangkan.
Pola perjalanan itu  -- yang kuringkaskan dari sejumlah perjalanan ziarah kami -- hendak kubagikan di sini.
Pagi-pagi benar, pukul 06.00 WIB di hari kerja, istriku dan aku serta dua anak gadis kami, naik mobil ojol dari rumah ke Stasiun Kebayoran, stasiun terdekat (6 km, Rp 40,000). Target kami mengejar KRL pemberangkatan pukul 06.43 WIB. Sehingga bisa tiba di Stasiun Rangkasbitung pukul 08.21 WIB, atau 98 menit kemudian. Ini lebih cepat sedikitnya 30 menit dibanding naik kendaraan pribadi atau umum.
Panjang rel dari Kebayoran ke Rangkasbitung adalah 65.8 km. Artinya KRL Commuter  berlari dengan kecepatan rata-rata 40.4 km/jam. Kecepatan yang tergolong sedang, karena  adanya faktor perlambatan saat kereta berhenti di 15 stasiun antara Kebayoran dan Rangkasbitung. Antara lain Sudimara, Serpong, Cisauk, Parungpanjang, Tigaraksa, dan Maja.
Tiba di Stasiun Kebayoran setelah 20 menit perjalanan, kami tak perlu repot mengantri tiket. Kami menggunakan kartu tiket elektronik multi trip Commet FeliCa yang masih berlaku. Serta kartu e-money Mandiri dan TapCash BNI yang valid juga untuk pembayaran tiket KRL.Â
Kami cukup menempelkan kartu pada panel card reader di turnstile gate, pintu otomatis di lantai atas stasiun. Tripod penghalang berputar, lalu kami melenggang masuk hall stasiun. Selanjutnya turun lewat eskalator ke peron, lalu duduk menunggu kereta di situ.Â
Dibanding paruh pertama tahun 2000-an, sistem pertiketan KRL sekarang sangatlah praktis. Dulu tiketnya kertas mirip kartu domino bolong di tengah, kemudian diganti karcis kertas tipis. Harus antri dulu beli di loket, lalu diperiksa petugas di pintu masuk peron, dibolongi kondektur di atas kereta, dan akhirnya diserahkan ke petugas di pintu keluar stasiun tujuan.
Tepat pukul 06.43 WIB kereta dari Tanahabang tiba. Itu adalah satu dari 53 perjalanan KRL setiap harinya ke Rangkasbitung. Perjalanan-perjalanan itu melayani para penglaju yang bermukim di sepanjang koridor Lin Rangkasbitung.
Kami duduk di dua gerbong terpisah. Istriku dan dua gadis kami duduk di gerbong 1, gerbong khusus wanita. Itu pilihan mereka, ingin sesekali berkumpul dengan kaumnya, aman dari mata penumpang laki.
Aku sendiri duduk di gerbong 2, gerbong campuran. Â Gerbong itu relatif lengang penumpang, sehingga aku tak perlu menggunakan previlese lansia. Aku bebas memilih mau duduk di bangku mana saja.
Sungguh nyaman melaju terayun-ayun dalam gerbong KRL bersih dan full AC menuju Rangkasbitung. Dua lelaki di bangku seberangku terlelap dalam duduknya sambil memeluk tas masing-masing. Seorang lelaki yang duduk di samping kananku juga teridur. Lelaki lain di bangku samping kanannya terserap oleh layar ponselnya.
Gerbong KRL itu tenang, bahkan cenderung hening. Semua penumpang silentium, berdiam diri. Kalau bukan terlelap, ya, terserap layar ponsel. Kondektur berdiri santai di pojok belakang, konsen menatap layar ponselnya. Ah, situasi hening yang mendukung penyiapan hati berziarah ke GMBK.
Penumpang terlelap di pagi hari, selain karena nyaman, pastilah juga karena merasa aman. Aman dari gangguan perjalanan, terutama kemungkinan kecelakaan.Â
Saat singgah di Stasiun Sudimara, aku mengenang ratusan korban Tragedi Bintaro 1. Tanggal 19 Oktober 1987, kereta api lokal Rangkas  (KA 225) yang baru berangkat dari Sudimara menuju Jakarta Kota "adu banteng" di jalur tunggal dengan kereta api Patas Merak (KA 220) yang melaju dari Kebayoran menuju Merak. Penyebabnya, kegagalan komunikasi persinyalan, waktu itu masih manual, saat pemberangkatan kereta dari Sudimara.
Risiko kecelakaan KRL semacam itu kini telah ditekan ke titik terendah lewat digitalisasi persinyalan yang presisif dan pengoperasian rel ganda. Itu sebabnya para penumpang, termasuk aku, merasa sangat aman.
Perjalanan ziarah naik KRL  ke GMBK Rangkasbitung literally adalah perjalanan menuju keheningan. Di tiap stasiun persinggahan, jumlah penumpang turun lebih banyak dibanding  yang naik. Dari Maja ke Rangkasbitung, penumpang di gerbong 2 tinggal seorang, aku sendiri. Seakan aku naik di "gerbong pribadi". Ah, nikmatnya perjalanan melawan arus "jam padat" di hari kerja.
Tepat pukul 08.21 WIB kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung. Seratus untuk KAI Commuter untuk ketepatan waktu ini. Itulah berkah elektrifikasi, digitalisasi, dan peremajaan KRL.
Kami berempat turun dari kereta dengan senyum syukur. Kartu-kartu tiket ditempel lagi pada panel card reader di turnstile gate pintu keluar. Terpotong dana Rp 8,000 per kartu atau per orang. Ongkos ini teramat jauh lebih murah ketimbang tiket bus umum dari Jakarta, termurah Rp 53,000 per orang.
Keluar dari gedung stasiun, kami sudah ditunggu angkot di lapangan parkir. Para supir angkot sudah tahu selalu ada saja penumpang KRL tujuan GMBK. Karena itu mereka standby di lapangan parkir stasiun.
Cukup dengan ongkos Rp 7,000 per kepala, zonder ngetem, dalam tempo 10 menit angkot mengantar kami ke gerbang GMBK di Kampung Narimbang Dalam. Tanpa rasa lelah, tetap segar lahir-batin, kami siap lebur ke dalam keheningan Bukit Kanada yang teduh.
Selanjutnya adalah ziarah yang khusuk. Bersama mendaraskan doa Salam Maria, menghitung biji rosario, dan mengadukan segala masalah kepada Bunda Maria Pengasih. Setelahnya pundak terasa lebih enteng, kepala lebih ringan, hati lebih lapang, wajah lebih berseri, dan senyum lebih lebar.
***
Perjalanan pulang ke rumah adalah kebalikan perjalanan berangkat.
Tapi tidak sepenuhnya begitu, sih. Ada acara mampir makan siang di Cisauk, tepatnya di Pasar Modern BSD.
Kami naik KRL pemberangkatan pukul 10.30 WIB dari Rangkasbitung. Enaknya berangkat dari stasiun awal, gerbong masih relatif kosong, sehingga kami bisa duduk berendeng sebangku berempat.Â
Pukul 11.36 WIB, atau 66 menit kemudian, kereta tiba di Stasiun Cisauk. Kami turun di situ, lalu berjalan kaki lewat skybridge menuju Pasar Modern BSD yang menyatu dengan Terminal Intermoda BSD. Di pasar itu ada food court yang menyajikan aneka masakan nusantara.Â
Setelah puas menikmati makan siang masing-masing, kami kembali ke Stasiun Cisauk. Duduk sejenak menunggu KRL pemberangkatan pukul 13.36 WIB menuju Tanahabang. Kereta tiba tepat waktu, sesuai jadwal tertayang pada papan digital.
Serangan kantuk selepas makan siang mendera mataku sepanjang perjalanan menuju Kebayoran. Tapi sebelum kelopak mata benar-benar terkatup, istriku sudah menggamit tanganku. Kereta telah tiba di Kebayoran, tepat pukul 14.17 WIB, atau 41 menit perjalanan.
Dengan menumpang mobil ojol dari depan stasiun, kami tiba di rumah pada pukul 15.00 WIB. Lahir-batin selamat, tetap segar-bugar, tanpa gurat lelah di wajah. Semua berkat jasa KAI Commuter yang telah menyediakan layanan perjalanan KRL yang praktis, aman, nyaman, murah, cepat dan tepat waktu.
Saat menyeruput kopi sore di meja makan, aku mendadak tersadar akan keunikan KRL relasi Rangkasbitung. Di Indonesia dia satu-satunya relasi KRL yang berujung di sebuah destinasi wisata rohani umat Katolik, Gua Maria Bukit Kanada. Â Aku katakan berujung karena, secara informal lewat jasa angkot, Stasiun Rangkasbitung telah terintegrasi dengan GMBK sepanjang hari.Â
Jumlah peziarah ke GMBK melonjak pada bulan Mei, bulan devosi umat Katolik kepada Bunda Maria. Juga pada bulan Oktober, bulan doa rosario bagi umat Katolik. Serta pada hari-hari besar agama Katolik, khususnya pada masa Paskah dan Natal.
Berkat layanan KRL Commuter Line, langkah umat Katolik se-Jabodetabek telah dimudahkan menuju peziarahan GMBK di Rangkasbitung. Karena itu ucapan terimakasih selayaknya disampaikan kepada KAI Commuter. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H