Gang Sapi itu semacam "gurun pasir" di belahan kidul Jakarta. Maksudku perilakunya.Â
Sekarang sepi, tetiba selang sekejap sudah muncul tumpukan ibu-ibu begosip.Â
Sepi lagi, eh, mendadak muncul tumpukan bapak-bapak dan jomlowan tua sibuk menghitung ibu-ibu dan gadis-gadis berlalu.Â
Atau tiba-tiba ramai kumpulan bocah berlarian ke sana kemari tanpa garis start dan finish.
Begitu juga pagi ini. Kemarin sore ruas gang depan rumah masih bersih hitam mulus aspal hotmix kelas empat. Eh, tadi subuh tetiba sudah ada jalur lomba-lomba tujuhbelasan tergurat di permukaannya.
Walah. Andai kutahu tengah malam tadi Bandung Bondowoso mampir di Gang Sapi bikin jalur lomba dan rumbai-rumbai merah-putih, pasti aku keluar rumah. Sekadar minta selfie, gitu.
Sambil terheran-heran, aku berpikir, kenapa dari tahun ke tahun jalur lomba-lomba memeriahkan  17 Agustus selalu muncul dengan pola serupa di Gang Sapi.Â
Pasti juga dengan jenis-jenis lomba yang serupa. Balap karung, balap kelereng, balap balon, makan kerupuk, dan mancing botol. Pesertanya juga sama, anak-anak. Dengan hadiah-hadiah yang juga sama: alat tulis-menulis.Â
Juga dengan kemeriahan yang sama. Tawa gembira, sorak-sorai, dan teriakan penyemangat yang sama. Orangnya juga sama, cuma berubah usianya, tambah setahun.
Apakah tidak bosan dengan acara yang gitu lagi gitu lagi? Tanyaku dalam hati.
Eh, bukankah peringatan detik-detik Proklamasi dan ulang tahun kemerdekaan RI juga dilakukan dengan cara serupa tiap tahun di Istana Merdeka? Paling beda presiden dan menteri, atau kelompok obade. Atau belakangan ada atraksi terbang akrobatik di udara Jakarta. Atau tiba-tiba Farel Prayoga muncul melantunkan Ojo Dibandingke. Besok mungkin muncul Putri Ariani.Â
Satu-satunya alasan ketakbosanan pada pengulangan ritus 17 Agustus itu adalah, menurutku, karena kita belum bosan merdeka. Kita belum bosan menikmati kemerdekaan, "hak segala bangsa" itu.Â
Maka kita tak pernah bosan merayakannya. Dengan memainkan ulang lomba-lomba yang sama setiap tahun.
Tapi apakah kita sungguh sedang merdeka kini? Secara politik, ya, ditandai oleh Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, dan hengkangnya Jepang dan Belanda si penjajah.
Namun demikian, timbul juga pertanyaan. Apakah secara politik, "Demokrasi Pancasila" kita tidak sedang dijajah "Demokrasi Liberal" ala Amerika atau "Fundamentalisme Agama"? Sehingga seakan-akan lima sila Pancasila itu hanya terdengar indah saat dibacakan pada momen peringatan kemerdekaan?Â
Juga, secara ekonomi, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Lihatlah jalan raya yang semakin mampet itu. Tidakkah jalanan kita dijajah kendaraan bikinan Jepang, Korea, Cina, Amerika, dan Eropa?Â
Atau tubuh para bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat, para pengusaha, dan para selebritas, tidakkah dijajah oleh pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris dari butik ternama dari Italia, Prancis, dan negeri asing lainnya?
Itu mungkin alasan Pak Jokowi berulangkali memohon "banggalah buatan Indonesia". Permohonan yang hilang terbawa angin utara ke Lautan Hindia di selatan. Istri dan anak pejabat tetap pamer barang mewah impor di akun medsos mereka. Apakah keluarga presiden juga steril dari barang mewah impor?
Tapi setidaknya di ruang publik kini bisa disaksikan kemerdekaan berbicara. Orang bebas bilang Presiden Jokowi "planga-plongo", "dungu", dan "bajingan tolol" tanpa khawatir ditangkap polisi.Â
Kata seseorang yang mengklaim diri "pengajar demokrasi", dalam perdebatan demokratis kita boleh memaki presiden sebagai institusi atau fungsi, bukan sebagai individu.Â
Ah, itu demokrasi atau demo crazy, ya.Â
Aku teringat seorang warga yang ditangkap polisi karena menebar ancaman lewat medsos akan memenggal kepala Presiden Jokowi. Kok ditangkap, kan cuma ngomong.Â
Ya, iyalah. Kalau dia beneran menjalankan omongannya, kan mustahil memenggal kepala presiden sebagai institusi tanpa membunuh presiden sebagai individu.
Jadi, mungkinkah memaki institusi presiden "bajingan tolol" tanpa melukai perasaan individu presiden Jokowi? "Itu konsekuensi jadi pejabat publik," dalih "pengajar demokrasi" tadi.
Boleh memaki pejabat. Mungkin itulah salah satu yang bikin kita masih betah merdeka. Di tengah berbagai deraan kesakitan, korupsi, persekusi, kemiskinan, dan ketakadilan. Deraan yang ikut kita rayakan sebagai isi kemerdekaan tiap tanggal 17 Agustus.
Tapi, kalau begitu, apa bedanya dengan zaman kolonial, ya. Dulu rakyat dan pejuang kita juga bebas berteriak "Bajingan kau gubernemen!" Atau secara spesifik, "Bajingan tolol kau van Mook! De Jonge! Stachouwer!"
Ah, jangan-jangan kita rakyat ini kini sedang dijajah pemerintah sendiri, ya.
Kau jawab sendirilah. Aku mau warming up dulu. Persiapan ikut lomba balap karung. Karena aku belum bosan merdeka!Â
Merdeka, kawans! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H