Eh, bukankah peringatan detik-detik Proklamasi dan ulang tahun kemerdekaan RI juga dilakukan dengan cara serupa tiap tahun di Istana Merdeka? Paling beda presiden dan menteri, atau kelompok obade. Atau belakangan ada atraksi terbang akrobatik di udara Jakarta. Atau tiba-tiba Farel Prayoga muncul melantunkan Ojo Dibandingke. Besok mungkin muncul Putri Ariani.Â
Satu-satunya alasan ketakbosanan pada pengulangan ritus 17 Agustus itu adalah, menurutku, karena kita belum bosan merdeka. Kita belum bosan menikmati kemerdekaan, "hak segala bangsa" itu.Â
Maka kita tak pernah bosan merayakannya. Dengan memainkan ulang lomba-lomba yang sama setiap tahun.
Tapi apakah kita sungguh sedang merdeka kini? Secara politik, ya, ditandai oleh Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, dan hengkangnya Jepang dan Belanda si penjajah.
Namun demikian, timbul juga pertanyaan. Apakah secara politik, "Demokrasi Pancasila" kita tidak sedang dijajah "Demokrasi Liberal" ala Amerika atau "Fundamentalisme Agama"? Sehingga seakan-akan lima sila Pancasila itu hanya terdengar indah saat dibacakan pada momen peringatan kemerdekaan?Â
Juga, secara ekonomi, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Lihatlah jalan raya yang semakin mampet itu. Tidakkah jalanan kita dijajah kendaraan bikinan Jepang, Korea, Cina, Amerika, dan Eropa?Â
Atau tubuh para bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat, para pengusaha, dan para selebritas, tidakkah dijajah oleh pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris dari butik ternama dari Italia, Prancis, dan negeri asing lainnya?
Itu mungkin alasan Pak Jokowi berulangkali memohon "banggalah buatan Indonesia". Permohonan yang hilang terbawa angin utara ke Lautan Hindia di selatan. Istri dan anak pejabat tetap pamer barang mewah impor di akun medsos mereka. Apakah keluarga presiden juga steril dari barang mewah impor?
Tapi setidaknya di ruang publik kini bisa disaksikan kemerdekaan berbicara. Orang bebas bilang Presiden Jokowi "planga-plongo", "dungu", dan "bajingan tolol" tanpa khawatir ditangkap polisi.Â
Kata seseorang yang mengklaim diri "pengajar demokrasi", dalam perdebatan demokratis kita boleh memaki presiden sebagai institusi atau fungsi, bukan sebagai individu.Â
Ah, itu demokrasi atau demo crazy, ya.Â