Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ketika Empat Jam Menunggu Argo Muria di Stasiun Pekalongan

22 Juli 2023   07:21 Diperbarui: 23 Juli 2023   18:50 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tetenger menara komunikasi di depan Stasiun Besar Pekalongan (Dikpri)

Kata orang menunggu itu membosankan. Kataku, tidak. Pada 1 Suro yang lalu istriku dan aku empat jam menunggu kereta tiba. Itu waktu emas yang menggairahkan. Menit-menit sarat literasi. Hasilnya adalah artikel ini.

Pekalongan. Aku pernah bermimpi singgah di kota batik ini. Berkali-kali aku bolak-balik di jalur panturaja, pantai utara Jawa, kota ini terlewatkan begitu saja.

Tapi tak pernah terpikir mimpi itu bakal menjadi kenyataan dengan cara yang aneh. Empat jam duduk menunggu kereta tiba di Stasiun Pekalongan. Tepat pada 1 Suro 2023.

Empat jam, eh? Kedengarannya seperti menunggu penerbangan yang ditunda empat kali di bandara. Bosan, penat!

Ah, tidak. Sama sekali tidak demikian. Itu adalah 240 menit yang sarat pengalaman literasi. Sarat aktivitas mental texting -- maaf, aku tak tahu istilah Indonesia untuk "kegiatan menulis secara mental". Suatu kegiatan menganggit tulisan dalam pikiran.

Macam mana pula itu? Sulit dijelaskan. Jadi ikuti saja ceritaku. 

***

Istriku dan aku bepergian ke Pekalongan tanpa rencana. Ada urusan keluarga yang agak genting di Kajen, ibukota Kabupaten Pekalongan. Perginya naik kereta api, pulangnya juga begitu.  Mau tak mau, ya mesti mampir di Kota Pekalongan, bukan?

Kenapa kota yang berdiri tahunn 1906 ini dinamai Pekalongan, bukan Pebatikan. Aku bertanya-tanya dalam hati, saat turun dari kereta Argo Muria pada 17 Juli lalu, tepat pukul 11.02 WIB. 

Dalam perjalanan ke Kajen, naik mobil sewaan, aku mengubek kisah di internet. Ada satu penjelasan yang masuk di akalku. Nama itu berasal dari Bahasa Jawa halong yang  diberi  awalan pe- dan akhiran -an,  sehingga menjadi pe(k)-along-an, pekalongan. 

Artinya "banyak hasil"(halong), atau "penghasilan". Itu merujuk pada kerja nelayan, mata pencaharian utama penduduknya sejak era Mataram Islam (abad 16-18). Kira-kira artinya waktu itu "banyak hasil ikan". 

Nama atau frasa "pek-along-an" itu tertera pada logo Kota Pekalongan semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Logo itu menampilkan figur tiga ekor ikan tersangkut jala di laut, simbol mata pencaharian utama penduduknya waktu itu. Pekalongan di masa itu adalah kota pelabuhan, antara lain pelabuhan ikan dan hasil bumi lainnya khususnya gula.

Logo Kota Pekalongan pada era Hindia Belanda (Sumber:  wikipedia.org)
Logo Kota Pekalongan pada era Hindia Belanda (Sumber:  wikipedia.org)

Predikat "kota batik" bermula dari dampak Perang Diponegoro (1825-1830). Perang itu memicu eksodus keluarga kraton Mataram serta pengikutnya antara lain ke daerah Pekalongan sekarang. Di situ mereka mengembangkan perbatikan hingga, kemudian, kerajinan batik menjadi mata pencaharian pokok sebagian warga. 

Dua kegiatan ekonomi itu, perikanan laut dan industri batik, kini tertera pada logo Kota Pekalongan. Canting menggurat motif batik jlamprang  dan tiga ekor ikan terjaring di laut. Lalu perisai bermahkota benteng dengan lima menara, Pancasila.

Aneh, pikirku. Kenapa dulu Pekalongan tak dijuluki kota ikan? Kenapa harus kota batik? Lantas kini juga dijuluki kota santri -- mungkinkah abangan dan priyayi minoritas di sana?

Mobil telah tiba di tempat tujuan, di kota Kajen, ibukota Kabupaten Pekalongan. Pertanyaan-pertanyaan itu menguap begitu saja dari benakku.

***

Puji Tuhan Maha Pemurah, urusan di Kajen selesai lebih cepat dari perkiraan. Pagi hari Rabu 1 Suro mestinya bisa pulang. Tapi aku sudah pesan tiket Argo Muria jurusan Pekalongan - Gambir Jakarta untuk keberangkatan pukul 17.50 WIB. Komplit dengan potongan harga 20% untukku, lansia.

Tak ada rencana apapun pada hari itu kecuali pulang ke Jakarta. Mau jalan-jalan di Kajen juga, tak ada destinasi yang menarik. Atau jalan-jalan di Pekalongan, tak ada rekomendasi destinasi yang memikat. Lagi pula pada 1 Suro toko-toko pada tutup di kota Pekalongan. 

Jadinya, setelah chek out dari hotel dilanjut makan siang di Kajen, sekitar pukul 13.00 WIB kami, istriku dan aku, meluncur naik mobil ojol ke Kota Pekalongan. Tujuan tunggal, Stasiun Besar Pekalongan. Pesanku kepada Pak Supir, "Alon-alon asal kelakon, Mas."

Walau sepanjang jalan ada obrolan ringan bertiga dengan supir, aku sungguh kewalahan menahan serangan kantuk siang. Dan sebelum aku betul-betul tertidur, mobil sudah berhenti di tepi Jalan Gajah Mada, persis di depan Stasiun Pekalongan. Ruas jalan ini dulunya adalah bagian dari De Grote Postweg, Jalan Raya Pos atau Jalan Daendeles.

Tetenger menara komunikasi di depan Stasiun Besar Pekalongan (Dikpri)
Tetenger menara komunikasi di depan Stasiun Besar Pekalongan (Dikpri)

Sambil melangkah ke komplek stasiun, aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Jarum jam menunjuk pukul 13.47 WIB. Masih ada waktu 4 jam sebelum Argo Muria tiba dari Semarang pukul 17.50 WIB.

"Kita duduk di dalam situ saja. Adem." Istriku menunjuk ke pintu ruang ticketing yang jembar dan berpendingin. Maka masuklah kami ke situ, sambil menyeret satu koper berdua. Banyak kursi kosong, sehingga kami bebas memilih dua kursi untuk duduk bersisian.

Lalu kami berdua ngobrol acak di situ tentang aneka soal yang ada dalam "ensiklopedia keluarga". Semisal soal masuk angin, diet cabai dan garam, perilaku anak, penyakit lansia, kolesterol, dan tananaman hias.  

Gayeng, gayeng sekali.  Seakan ruang ticketing itu adalah kamar tidur kami. Ah, ngobrol ngalor-ngidul berdua seperti itu memang  tak pernah membosankan.

Hanya begitu saja selama 4 jam?

Tentu saja tidak. Ada menit-menit jeda. Mengamati perilaku  calon penumpang keluar-masuk beli tiket di loket. Atau  keluar sejenak  dari ruangan untuk melemaskan urat-urat, sambil memastikan gedung stasiun masih berada di tempat. 

Tampak depan Stasiun Besar Pekalongan (Dokpri)
Tampak depan Stasiun Besar Pekalongan (Dokpri)

"Pasti banyak cerita yang melekat pada stasiun ini," pikirku pada satu momen, sambil menjeprat-jepret sudut-sudut eksterior bangunan stasiun itu. 

Berpikir seperti itu, otomatis otakku langsung aktif  melakukan mental texting, menulis di layar monitor benak. Huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat saling-gandeng di pikiranku.

Pertama, tentu saja, tentang fisik bangunan Stasiun Pekalongan. Lalu tentang sejarahnya yang panjang. Atau keduanya saling pilin.  

Stasiun Pekalongan yang sekarang ini, seperti umumnya stasiun lain di Jawa, didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1910-an. Pengoperasiannya resmi dimulai tahun 1920.

Pemandangan interior stasiun ke arah timur (Dokpri)
Pemandangan interior stasiun ke arah timur (Dokpri)

Pemandangan interior stasiun ke arah barat (Dokpri)
Pemandangan interior stasiun ke arah barat (Dokpri)

Struktur bangunan stasiun khas Hindia Belanda. Membujur dari timur ke barat di sisi utara rel, gedung ini menggunakan konstruksi rangka kayu. Atapnya model pelana berlapis tiga. Di antara lapis-lapis itu terdapat celah untuk sirkulasi udara keluar-masuk bangunan. 

Bentang lebar atap stasiun ini disokong oleh kayu kantilever kuda-kuda dengan batang tarik terbuat dari besi. Hasilnya sebuah bentang atap yang kokoh, luas, dan megah. Peron, jalur-jalur rel, dan ruang-ruang layanan stasiun berdinding beton bata tebal aman di bawah naungannya. 

Bangunan yang ada sekarang  ternyata adalah yang kedua. Semula Stasiun Pekalongan hanyalah bangunan kecil terbuat dari kayu. Stasiun itu didirikan oleh Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) tahun 1898. Fungsinya lebih sebagai stasiun hasil bumi.

Pelaksanaan Politik Etis sejak 1901 kemudian mendasari pembangunan-ulang stasiun itu menjadi seperti yang sekarang. Stasiun ini tadinya melayani juga jalur kereta ke pabrik gula Wonopringgo di selatan dan ke Pelabuhan Pekalongan di utara. Sayangnya jalur rel  ke selatan dibongkar Pemerintah Pendudukan Jepang tahun 1943.  Sementara jalur ke pelabuhan mati begitu saja. 

"Sudah pukul lima. Cetak tiket dulu." Istriku mengingatkan. Stasiun Pekalongan belum menerapkan pintu "pengenal wajah" (face recognition). Masih sistem manual cek kesesuaian tiket, KTP, dan wajah oleh petugas pintu masuk.

"Tepat waktu kan, Mas?"

"Tepat waktu, Pak."

Aku sempat khawatir terjadi penundaan jadwal kereta. Imbas tabrakan di malam 1 Suro antara kereta Brantas dan truk trailer di perlintasan sebidang Madukoro, Semarang. Untung PT KAI bisa membersihkan jalur dalam tempo hanya 7 jam. Luar biasa praktek mitigasi risikonya. Bravo, KAI!

Sambil mengamati tiket kertas di tangan, aku berpikir betapa majunya perkereta-apian negri ini kini. Dilihat dari wujud tiket saja. Dulu pada zaman Hindia Belanda, bentuk tiketnya adalah kertas karton padat serupa kartu gaple. Contohnya masih bisa diluhat di museum kereta api Lawang Sewu Semarang.

Lalu tiket beralih menjadi karcis kertas tipis yang disobek petugas dari bundelan tebal. Sebekum kemudian beralih ke tiket cetak komputer -- keren banget. Lalu kini, yang terbaru, cukup dengan "setor muka" di latar pemindai. Luar biasa! Kemajuan apa lagi yang kau dustakan?

***

Sambil melangkah masuk ke ruang tunggu, terpikir olehku betapa Stasiun Pekalongan telah menjadi saksi sejarah ekonomi negeri ini. 

Dia saksi eksploitasi hasil bumi negeri ini oleh Pemerintah Hindia Belanda dulu. Hasil bumi seperti gula, kopi, rami dan sebagainya mengalir dari sini menuju pelabuhan. Di ekspor ke luar negeri, lalu keuntungannya digunakan untuk membiayai Negeri Belanda. Sementara petani negeri ini tetap sengsara.

Menunggu kereta tiba (Dokpri)
Menunggu kereta tiba (Dokpri)

Di masa kemerdekaan, stasiun ini juga menjadi saksi kejayaan industri batik Pekalongan. Dari stasiun ini berkodi-kodi batik diangkut ke lota-kota lain di timur dan barat pulau Jawa. Predikat "kota batik" semakin tebal menempel di wajah kota ini.

Tapi sekarang situasinya mungkin sudah berubah. Kini stasiun ini lebih berfungsi sebagai stasiun penumpang. Revitalisasi jalan arteri Pantura, serta pengoperasian halan tol Trans-Jawa membuat angkutan barang lebih lancar setiap saat lewat jalan raya. Tak harus bergantung lagi pada jadwal kereta. 

"Ayo, siap-siap. Kereta cuma sebentar berhenti di sini." Istriku mengingatkan sambil bangkit dari bangku ruang tunggu. 

Aku melihat ke arah timur. Kereta Argo Muria sudah mendekati peron di Jalur 1. 

"Kita di gerbong tujuh." Aku mengingatkan istriku.

Kulirik arlojiku. Jarum jam sedang berputar menuju angka 17.50 WIB.

"Ah, kereta api tak ingkar janji di Stasiun Pekalongan." (eFTe)

 


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun