Aku sempat khawatir terjadi penundaan jadwal kereta. Imbas tabrakan di malam 1 Suro antara kereta Brantas dan truk trailer di perlintasan sebidang Madukoro, Semarang. Untung PT KAI bisa membersihkan jalur dalam tempo hanya 7 jam. Luar biasa praktek mitigasi risikonya. Bravo, KAI!
Sambil mengamati tiket kertas di tangan, aku berpikir betapa majunya perkereta-apian negri ini kini. Dilihat dari wujud tiket saja. Dulu pada zaman Hindia Belanda, bentuk tiketnya adalah kertas karton padat serupa kartu gaple. Contohnya masih bisa diluhat di museum kereta api Lawang Sewu Semarang.
Lalu tiket beralih menjadi karcis kertas tipis yang disobek petugas dari bundelan tebal. Sebekum kemudian beralih ke tiket cetak komputer -- keren banget. Lalu kini, yang terbaru, cukup dengan "setor muka" di latar pemindai. Luar biasa! Kemajuan apa lagi yang kau dustakan?
***
Sambil melangkah masuk ke ruang tunggu, terpikir olehku betapa Stasiun Pekalongan telah menjadi saksi sejarah ekonomi negeri ini.Â
Dia saksi eksploitasi hasil bumi negeri ini oleh Pemerintah Hindia Belanda dulu. Hasil bumi seperti gula, kopi, rami dan sebagainya mengalir dari sini menuju pelabuhan. Di ekspor ke luar negeri, lalu keuntungannya digunakan untuk membiayai Negeri Belanda. Sementara petani negeri ini tetap sengsara.
Di masa kemerdekaan, stasiun ini juga menjadi saksi kejayaan industri batik Pekalongan. Dari stasiun ini berkodi-kodi batik diangkut ke lota-kota lain di timur dan barat pulau Jawa. Predikat "kota batik" semakin tebal menempel di wajah kota ini.
Tapi sekarang situasinya mungkin sudah berubah. Kini stasiun ini lebih berfungsi sebagai stasiun penumpang. Revitalisasi jalan arteri Pantura, serta pengoperasian halan tol Trans-Jawa membuat angkutan barang lebih lancar setiap saat lewat jalan raya. Tak harus bergantung lagi pada jadwal kereta.Â
"Ayo, siap-siap. Kereta cuma sebentar berhenti di sini." Istriku mengingatkan sambil bangkit dari bangku ruang tunggu.Â
Aku melihat ke arah timur. Kereta Argo Muria sudah mendekati peron di Jalur 1.Â