Walau sepanjang jalan ada obrolan ringan bertiga dengan supir, aku sungguh kewalahan menahan serangan kantuk siang. Dan sebelum aku betul-betul tertidur, mobil sudah berhenti di tepi Jalan Gajah Mada, persis di depan Stasiun Pekalongan. Ruas jalan ini dulunya adalah bagian dari De Grote Postweg, Jalan Raya Pos atau Jalan Daendeles.
Sambil melangkah ke komplek stasiun, aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Jarum jam menunjuk pukul 13.47 WIB. Masih ada waktu 4 jam sebelum Argo Muria tiba dari Semarang pukul 17.50 WIB.
"Kita duduk di dalam situ saja. Adem." Istriku menunjuk ke pintu ruang ticketing yang jembar dan berpendingin. Maka masuklah kami ke situ, sambil menyeret satu koper berdua. Banyak kursi kosong, sehingga kami bebas memilih dua kursi untuk duduk bersisian.
Lalu kami berdua ngobrol acak di situ tentang aneka soal yang ada dalam "ensiklopedia keluarga". Semisal soal masuk angin, diet cabai dan garam, perilaku anak, penyakit lansia, kolesterol, dan tananaman hias. Â
Gayeng, gayeng sekali.  Seakan ruang ticketing itu adalah kamar tidur kami. Ah, ngobrol ngalor-ngidul berdua seperti itu memang  tak pernah membosankan.
Hanya begitu saja selama 4 jam?
Tentu saja tidak. Ada menit-menit jeda. Mengamati perilaku  calon penumpang keluar-masuk beli tiket di loket. Atau  keluar sejenak  dari ruangan untuk melemaskan urat-urat, sambil memastikan gedung stasiun masih berada di tempat.Â
"Pasti banyak cerita yang melekat pada stasiun ini," pikirku pada satu momen, sambil menjeprat-jepret sudut-sudut eksterior bangunan stasiun itu.Â
Berpikir seperti itu, otomatis otakku langsung aktif  melakukan mental texting, menulis di layar monitor benak. Huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat saling-gandeng di pikiranku.