Sebuah perjalanan tak mesti membawa kita ke masa kini di tempat lain. Tapi bisa juga membawa kita ke masa lalu di tempat lain.
Suatu urusan telah membawaku dari kemarin ke Kajen, Ibukota Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Ini pertama kalinya aku singgah di kabupaten/kota batik ini. Sebelumnya hanya melintas saja.
Kajen itu aslinya nama kota kecamatan. Kemudian menjadi ibukota Kabupaten Pekalongan. Arti kata kajen (Jawa) itu terhormat, dihormati.Â
Kata itu penggalan dari nasihat Nyai Dai saat mendamaikan Adipati Wirokusumo (Domiyang) dan Adipati Wirodanu (Pekinganalit) yang bermusuhan karena memperebutkan Dewi Putri Tanjung. Kata Nyai Dai, kelak bila sudah zaman ramai, tempai ini dinamai Kajen. Maka jadilah begitu.
Aku dan keluarga menginap di hotel kecil, RD Syariah di Desa Kulu, Karanganyar, Kajen. Cukup nyaman, hening, Â cocok untuk tempat istirahat.Â
Karena hotel tak menyediakan sarapan, maka aku harus keluar cari warung makan pagi-pagi benar. Berharap menemukan warung soto tauto atau nasi megono, dua menu khas Pekalongan.
Dalam pencarian warung itu, aku terbawa langkah kaki ke tepi areal bekas sawah atau mungkin lahan tebu di selatan hotel. Areal itu sedang bera, atau mungkin diberakan karena sudah dibeli orang kota. Kini penuh ditumbuhi semak-semakan, antara lain aneka gelagah dan padi-padian.Â
Jauh ke selatan areal itu, tampak biru dinding utara dataran tinggi Dieng. Perjalanan ke sana, kata pengemudi kemarin, sekitar 3 jam lewat Banjarnegara. Lama karena kindisu jalan semput dan menanjak.
Burrr .... Bunyi kepak sayap serombongan bondol haji mengejutkanku. Atau sebenarnya mereka yang terkejut karena kehadiranku. Lalu kabur menghindar dari tepi areal bera itu.
Bukan karena aku orang Batak, maka bondol haji yang tetas dan besar di Jawa Tengah itu kabur ketakutan. Bondol kabur karena takut ditangkap. Lalu diperjual-belikan dengan harga murah di pasar burung. Atau terpenjara di sangkar burung milik anak kecil. Atau, paling sial, menjadi burung pipit goreng.
Bondol haji, disebut begitu karena kepalanya putih macam kupluk atau kopiah Pak Haji, adalah pipit atau gelatik endemik Indonesia. Burung ini takut pada anak-anak karena manusia-manusia kecil itulah yang paling gemar menangkap mereka.
Di Panatapan, kampungku, kami menyebutnya silopak. Sebab di kampungku tak ada haji dengan kupluk putih. Silopak itu digunakan juga sebagai kode nama petugas Patroli Jalan Raya (PJR) oleh para supir. "Awas silopak di tikungan." Artinya ada petugas PJR di tikungan, razia kendaraan bermotor.
Aku berdiri mematung di tepi lahan bera. Bersabar menunggu para bondol haji mendekat, lalu akan kutangkap mereka dengan kamera ponselku.
***
Kesabaran menanti bondol haji datang kembali telah melemparkan ingatanku ke tahun 1960-an di Panatapan (pseudonim), Toba. Ke suatu masa kanak-kanak yang disibukkan oleh dua kegiatan yang bertentangan.Â
Di satu pihak kami, anak-anak, sibuk mengusir rombongan bondol haji dari hamparan padi berbulir hijau. Mereka adala gerombolan hama.
Tapi di lain pihak kami juga menangkapi mereka dengan cara marpulut (memulut), haji marpikket (memikat, memerangkap), marjaring (menjaring di sarang), atau bahkan marsongam (menyergap langsung di sarangnya).
Marpulut, memulut dengan getah hariara, sejenis beringin, adalah yang paling sadis. Seekor bondol harus dibunuh untuk menjadi pemikat. Ditusuk dengan batang resam atau pimping, lalu ditegakkan di atas gubuk-gubukan kecil yang terbuat dari semak-semak.
Tersembunyi di dalam gubuk kecil itu, ada seorang temanku yang meniup peluit terbikin dari batang gelagah. Bunyinya mirip betul dengan suara bondol.Â
Para bondol yang terbang di sekitar situ mengira bondol pengumpan itu yang memanggilnya. Mereka akan datang mendekat lalu hinggap di pucuk paku resam. Tertangkaplah mereka karena daun dan pucuk resam itu telah dipasangi pulut.
"Buat!" ("Ambil!) Aku yang menjadi pengamat dari kejauhan berteriak memberitahu. Temanku segera keluar dari gubuk persembunyian lalu memetiki bondol yang terpulut.
Marpikket lain lagi. Cara itu menggunakan sangkar pimping dengan tiga bilik. Bilik tengah tempat bondol haji pemikat, masih hidup. Lalu dua bilik di ujungnya adalah bilik pemikat. Â Punya pintu angkat yang ditahan menggunakan benang yang ditancapkan pakai lidi pada batang injakan di dalam bilik.Â
Bilik pemikat itu diisi juga dengan umpan berapa malai padi yang berbulir hijau, matang susu. Itu makanan kesukaan bondol haji.
Bunyi bondol pengumpan akan memikat bondol liar datang mendekat. Melihat ada bulir padi hijau segar di dalam bilik pemikat, bondol akan masuk dan hinggap pada batang injakan. Klak. Benang penahan lepas, pintu turun cepat, dan bondol haji terperangkap.
Marjaring dan marsongam mempersyaratkan penemuan sarang bondol haji. Lazimnya mereka bersarang di gerumbulan ilalang atau gelagah.Â
Sarang itu bisa ditemukan melalui pengamatan. Jika ada bondol keluar-masuk ke gerumbulan semak tertentu, pasti ada sarangnya di situ.
Jaring terbuat dari akar rumput padang (Sporobolus junceus). Jaring dipasang persis di mulut atau lubang masuk sarang. Warnanya putih sehingga tersamarkan oleh warna rumput kering bahan sarang.Â
Saat bondol haji masuk ke dalam sarangnya, tanpa sadar dia sudah terjerat pada lehernya. Saat aku sebagai penjaring datang ke situ, bondol akan keluar untuk kabur dari sarangnya. Tapi sia-sia. Lehernya sudah terjerat. Dia hanya bisa tergantung menggelepar di mulut sarangnya.
Marsongam memerlukan keahlian tingkat ninja. Aku harus bisa mendekati mulut sarang bondol tanpa terdengar. Paling baik saat angin bertiup kencang, menimbulkan suara berisik dari alang-alang yang bergoyang dan bergesekan.
Saat sudah dekat sekali dengan sarang, secepat kilat telapak tangan ditutupkan pada mulut sarang. Bondol yang hendak terbang kabur tergenggam di tangan. Ketangkap!
***
Sssst. Jangan berisik. Para bondol haji itu datang lagi. Hinggap pada malai-malai gelagah dan padi-padian. Mematuki bebijiannya.
Kutangkap mereka dengan kamera ponselku. Ah, dasar ponsel lansia. Hasilnya mengecewakan.
Celoteh anak-anak berlarian hendak berangkat sekolah mengejutkan para bondol itu. Mereka terbang, kabur lagi. Pergi jauh ke selatan. Mungkin takut ditangkap anak-anak itu.
Aku menghela nafas. Telah pulang kembali dari masa laluku. Sambil bertanya-tanya, apakah anak-anak desa di Kajen sini, kini, punya pengalaman serupa?
Kupandang ke selatan. Dinding dataran tinggi Dieng masih tegak biru di sana. Di bawahnya kutahu ada hamparan persawahan. Mungkin bondol-bondol tadi pergi ke sana.
Bondol-bondol itu, semoga bukan yang terakhir di Kajen. Kota ini sedang berkembang dengan cara memakan persawahannya.
Sinar mentari pagi memancar dari timur. Berpendar keemasan di pucuk gelagah dan padi-padian. Menyajikan pemandangan yang eksotis.
Aku berdiri, memejamkan mata, tersenyum telah boleh menikmati sebuah pagi di pojok kota Kajen. Sebuah pagi yang eksotis dengan kehadiran para bondol haji. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H