Sssst. Jangan berisik. Para bondol haji itu datang lagi. Hinggap pada malai-malai gelagah dan padi-padian. Mematuki bebijiannya.
Kutangkap mereka dengan kamera ponselku. Ah, dasar ponsel lansia. Hasilnya mengecewakan.
Celoteh anak-anak berlarian hendak berangkat sekolah mengejutkan para bondol itu. Mereka terbang, kabur lagi. Pergi jauh ke selatan. Mungkin takut ditangkap anak-anak itu.
Aku menghela nafas. Telah pulang kembali dari masa laluku. Sambil bertanya-tanya, apakah anak-anak desa di Kajen sini, kini, punya pengalaman serupa?
Kupandang ke selatan. Dinding dataran tinggi Dieng masih tegak biru di sana. Di bawahnya kutahu ada hamparan persawahan. Mungkin bondol-bondol tadi pergi ke sana.
Bondol-bondol itu, semoga bukan yang terakhir di Kajen. Kota ini sedang berkembang dengan cara memakan persawahannya.
Sinar mentari pagi memancar dari timur. Berpendar keemasan di pucuk gelagah dan padi-padian. Menyajikan pemandangan yang eksotis.
Aku berdiri, memejamkan mata, tersenyum telah boleh menikmati sebuah pagi di pojok kota Kajen. Sebuah pagi yang eksotis dengan kehadiran para bondol haji. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H