Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Nikuba, BRIN, dan Nasib Inovator Independen di Indonesia

15 Juli 2023   10:09 Diperbarui: 17 Juli 2023   12:00 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aryanto Misel memasang Nikuba ke sepeda motor milik TNI di rumahnya di Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Foto: KOMPAS.id/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Isu prioritas dunia kini adalah ancaman krisis pangan dan energi. Temuan solutif di bidang itu pasti menjadi primadona yang disambut riuh.

Itulah yang sedang terjadi pada Nikuba, perangkat elektrolisis bahan bakar hidrogen berbasis air (H2O) rakitan Aryanto Misel (AM), peneliti independen asal Cirebon.

Nikuba menjadi viral karena digembar-gemborkan di ranah media online (medol) dan media sosial (medsos) sebagai perangkat konversi air menjadi bahan bakar hidrogen. Jika benar begitu, maka dia adalah solusi abad ini untuk kelangkaan bahan bakar minyak dan gas (BBM dan BBG) di dunia.

Tapi, lepas dari kemungkinan dampak negatif di balik inovasi itu, apakah "janji Nikuba" itu tak terlalu indah untuk menjadi kenyataan? 

Para saintis di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN] dan sejumlah Perguruan Tinggi (PT) sejauh ini memberi respon skeptis. Selain inovasi bahan bakar hidrogen bukan hal baru, klaim-klaim AM tentang kehebatan Nikuba tidaklah  didukung dengan data riset saintifik yang valid. 

Pandangan seputar Nikuba itu kini terpolarisasi.  Di satu ujung para saintis meragukan inovasi itu, dengan risiko cibiran dari khalayak. Di ujung lain, dengan dukungan glorifikasi Nikuba oleh medol, warganet yang emosional-reaksioner menyanjung-nyanjung AM sebagai "penemu" hebat.

Kasus AM dan Nikuba ini mengantar ingatan ke tahun 2008.  Waktu itu Supriyadi, lulusan STM Mesin mengklaim penemuan galur padi Super Toy HL2  yang bisa dipanen tiga kali dalam sekali tanam dengan produktivitas di atas 10 ton/ha.  Inovasi padi Super Toy itu ternyata bohong-bohongan, panennya gagal total, sehingga diplesetkan menjadi padi Super Letoy.

Masih pada tahun 2008, Djoko Suprapto mengklaim temuan  "banyugeni", bahan bakar berbahan baku air yang bisa menjadi alternatif pengganti BBM.  Inovasi "banyugeni", kemudian disebut blue energy, ini ternyata cuma tipu-tipu pedagang genset.

Apakah mungkin AM dan Nikuba  akan bernasib seperti Supriyadi dan Super Toy dan Djoko Suprapto dengan Blue Energynya? Kedua orang itu sempat digembar-gemborkan sebagai penemu genius, ternyata ujungnya ketahuan cuma pembual?

Nanti akan coba dibahas kemungkinan-kemungkinannya.  Tapi selain itu, kasus Nikuba ini dan kasus-kasus sejenis terdahulu mengungkap nasib kurang baik inovator independen, tanpa lembaga di Indonesia.  Isu ini penting tapi nyaris tak pernah menjadi perhatian.

***

Aryanto Misel dan perangkat Nikuba rakitannya (Foto: Ony Syahroni/detikJabar)
Aryanto Misel dan perangkat Nikuba rakitannya (Foto: Ony Syahroni/detikJabar)

Sebelum bicara lebih jauh, perlu memahami dulu distingsi antara peneliti, inovator, atau inventor. Itu perlu untuk memahami tempat AM dan Nikuba dalam konteks sains dan teknologi.

Pembedaannya secara simpel begini. Peneliti itu seorang pencari jawaban yang benar tentang suatu masalah melalui pendekatan atau metode saintifik. 

Inovator menerapkan teori dan metode terdahulu untuk merekacipta satu produk baru yang punya nilai tambah dibanding produk sejenis lainnya. 

Sedangkan inventor menemukan suatu teori, metode, atau produk teknologis baru.

Seorang peneliti bisa sekaligus menjadi inovator dan atau inventor. Seorang inventor lazimnya adalah seorang peneliti atau saintis. Tapi seorang inovator tidak mesti seorang peneliti atau saintis.

Paparan ringkas mengenai sejarah riset, invensi, dan inovasi terkait hidrogen dan mesin berbahan bakar hidrogen berikut bisa memperjelas.

Antonie-Laurent de Lavoisier (1782) , ilmuwan dan peneliti kimia Prancis adalah penemu rumus molekul air H2O. Temuan itu diperoleh lewat eksperimen pembakaran campuran hidrogen dengan oksigen. 

Unsur Hidrogen sendiri adalah temuan Henry Cavendish (1766), ilmuwan dan peneliti kimia Inggris. Sedangkan unsur Oksigen adalah temuan Carl W. Scheele (1771), seorang ahli farmasi (kimia analitik) Swedia.

Michael Faraday kemudian memberi istilah elektrolisis, sekaligus  menemukan hukum (1833/1834), untuk proses penguraian suatu senyawa dengan menggunakan arus listrik menjadi unsur-unsur murni. Semisal penguraian senyawa air (H2O) menjadi oksigen (02) dan gas hidrogen (H2).

Tapi jauh sebelum Faraday menemukan Hukum Elektrolisis, pada tahun 1807-1808 Francois Isaac De Rivaz, seorang pengusaha cum inovator sudah merancang dan membuat mesin pembakaran internal berbahan bakar hidrogen hasil elektrolisis. Mesin itu  dan digunakan menggerakkan mobil. Itu yang pertama di dunia.

Lompat ke abad 20, pada tahun 1974 Prof. Yull Brown dari Australia menemukan campuran gas hidrogen dan oksigen (HHO), hasil elektrolisis air dengan menggunakan energi listrik kecil. Daya ledak HHO, disebut Gas Brown, itu cukup besar untuk menyalakan motor mesin.

Memanfaatkan temuan Gas Brown, Stanley Meyer, inovator asal AS  merekacipta "Water Fuel Cell" (WFC) sejak penghujung 1970-an sampai 1980-an. Dipatenkan tahun 1990, perangkat itu diklaim bisa mengurai air menjadi H2 dan O2. Gas Hidrogen (H2) itu disebut bisa menggerakkan motor mesin dengan cara menginjeksikannya ke ruang bakar. 

Meyer mengklaim telah menerapkan inovasi itu pada mobil VW Buggy. Lalu mengaku perjalanan berkendara sejauh 3.957 km dari Los Angeles ke New York hanya menghabiskan 83 liter air.

Nasib Meyer berujung ngenes. Dua investor pembeli WFC bikinannya mengadukannya atas sangkaan penipuan. Dalam proses pengadilan, Meyer menolak permintaan Prof. M. Laughton, saksi ahli teknik elektro dari Queen Mary University of London untuk menguji klaimnya tentang WFC dan VW Buggy.

Pengadilan kemudian memutuskan Meyer telah melakukan penipuan. Dia dihukum mengembalikan uang investor. Hak patennya atas WFC dibatalkan.

Kasus Meyer itu mirip-mirip kasus "Blue Energy" Djoko Suprapto tahun 2008 di Indonesia. Djoko juga dituntut di pengadilan atas tuduhan penipuan terhadap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pembeli yang tak kunjung menerima mesin "Blue Energy" darinya. Djoko divonis penjara 3 tahun. 

Kini viral AM dengan  "Nikuba" bikinannya. Perangkat Nikuba itu diklaim AM sebagai alat elektrolisis penghasil bahan bakar Hidrogen, unsur murni air yang dipisahkan dari unsur murni Oksigen (O2). Perangkat itu katanya telah diaplikasikan pada 30 motor operasional Babinsa Kodam Siliwangi. Inovasi  Nikuba didukung oleh Pangdam Siliwangi.

Lalu ada klaim-klaim kehebatan. Dikatakan perjalanan naik motor "Nikuba" sejauh 237 km dari Cirebon ke Semarang hanya memerlukan 1 liter air. Terakhir disebut-sebut produsen otomotif Lamborghini dan Ferari berminat pada Nikuba. Diberitakan AM telah diundang ke Italia untuk pembicaraan bisnis. 

Kalau diperhatikan, Nikuba bikinan AM itu mirip dengan Generator HHO rakitan Joko Priyono (PT Jokoenergy). Generator HHO ini sudah dipatenkan dan dikomersilkan. Banyak diaplikasikan sebagai penghemat BBM dan alat kesehatan.

Lantas, sampai titik ini apa yang dapat disimpulkan? 

Pertama, pengetahuan tentang Hidrogen sebagai bahan bakar sudah ada sejak abad 18. 

Kedua, metode elektrolisis air untuk mendapatkan unsur Gas Hidrogen sudah ada sejak awah abad 19. 

Ketiga, aplikasi Gas Hidrogen sebagai bahan bakar  motor mobil juga sudah ada sejak awal abad 19.

Keempat, sebelum Nikuba AM sudah ada Generator HHO bikinan Joko Priyono yang diaplikasikan sebagai penghemat BBM kendaraan bermotor.

Kelima, AM bukan seorang peneliti ataupun penemu, melainkan inovator pengusaha yang merekacipta  produk-produk bernilai tambah untuk dipasarkan, antara lain Nikuba.

Hal tersebut terakhir inilah yang menjadi pangkal "konflik" antara AM dengan kalangan periset, khususnya lembaga BRIN. Medol/medsos kemudian riuh mengipasinya dengan memberi kesan pada AM sebagai "jagoan" dan BRIN sebagai "pecundang". Tapi benarkah demikian?

***

Mengapa peneliti BRIN, juga lingkungan PT, berespon skeptis terhadap inovasi Nikuba AM? Sementara medol/medsos begitu bersemangat?

Itu karena BRIN fokus pada esensi, sedangkan medol/medsos fokus pada sensasi. Bagi medol/medsos nilai berita Nikuba dan AM setara dengan nilai berita rumput JIS, Panji Gumilang dan Al-Zaitun, perselingkuhan Syahnaz-Rendy, dan hilangnya Anggi Anggraeni di malam pertama perkawinannya.  Nikuba dan AM disiarkan selayaknya berita gosip tanpa bukti valid.

BRIN adalah lembaga pilar penegakan kebenaran saintifik di Indonesia. Karena itu sudah sewajarnya dia skeptis terhadap klaim-klaim yang tak didukung pembuktian saintifik. 

Sikap skeptis itu perlu untuk melindungi pemerintah dan rakyat dari aksi-aksi pseudo-saintifik para petualang dagang yang tak lebih dari pembual. Cukuplah hanya Presiden SBY dulu yang "ditipu" oleh Supriyadi "Sper Toy" dan Djoko Suprapto "Banyugeni"/"Blue Energy".

Riset bahan bakar hidrogen bukan barang baru bagi para peneliti BRIN. Jauh sebelum AM viral dengan Nikuba, mereka sudah berkutat dengan riset "blue energy". Dan sejauh ini hasilnya belum menunjukkan prospek cerah. Baik dari segi peluang maupun efisiensi dan efektivitas H2 sebagai bahan bakar pengganti BBM.

Karena itu, saat tahun lalu dan tahun ini AM viral dengan Nikuba, BRIN hanya ingin memastikan kebenaran sainfifik perangkat konversi air ke bahan bakar Hidrogen itu. Langkah ini yang kemudian dipersepsikan AM sebagai "pembantaian". Sedikit perlu ditegaskan, tidak ada kebenaran saintifik yang bebas dari "pembantaian".

BRIN hanya ingin memastikan sedikitnya tiga hal tentang Nikuba.

Pertama, kebenaran saintifik Nikuba. Apakah Nikuba sebagai sebuah inovasi didasarkan secara ketat pada konsep-konsep, teori, dan metode saintifik yang relevan? 

Kejelasan tentang hal ini mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa mekanisme kerja Nikuba benar menghasilkan Hidrogen -- mungkin dengan bantuan katalisator tertentu dalam proses elektrolisis -- yang dapat dikonversi langsung menjadi bahan bakar motor mesin.

Atau, kemungkinan lain, Hidrogen itu tak berfungsi sebagai bahan bakar, melainkan hanya sebagai suplemen yang meningkatkan efisiensi penggunaan BBM.

Kedua, kemanfaatan Nikuba. Entah Hidrogen produk Nikuba itu adalah bahan bakar pengganti BBM atau suplemen BBM, tetap harus dibuktikan nilai kemanfaatannya secara saintifik. 

Itu berarti perlu evaluasi analitis tentang cara kerja Nikuba, mekanisme konversi Hidrogen menjadi bahan bakar atau suplemen, dan kinerja (efisiensi dan efektivitas) Hidrogen itu di ruang bakar motor.

Klaim bahwa hanya diperlukan 1 liter air untuk menempuh perjalanan 237 km (Cirebon-Semarang), fakta Nikuba diimplementasikan pada 30 unit motor Babinsa, klaim dukungan Pangdam Siliwangi, dan fakta undangan pabrikan Lamborghini dan Ferari bukanlah fakta-fakta ilmiah. Karena itu hal-hal tersebut tak membuktikan apapun tentang kemanfaatan Nikuba, juga tentang kebenaran dan keamanannya.

Ketiga, keamanan Nikuba. Penting untuk memastikan keamanan Hidrogen (mudah terbakar) sebagai bahan bakar ataupun suplemen. Sejauh mana kebocoran tak terjadi dan membahayakan pengendara dan lingkungan. Juga sejauh mana hidrogen tak bersifat merusak, misalnya korosif, terhadap mesin.

BRIN menawarkan kerjasama dengan AM untuk menjawab tiga hal di atas secara saintifik, untuk memutuskan kelaikan Nikuba, tapi AM menolaknya. Hal ini mengingatkan pada penolakan Meyer ketika Laughton hendak menguji VW Buggy yang diklaim mengaplikasikan WFC. 

Ada dua kemungkinan alasan penolakan AM tersebut.

Pertama, sebagai seorang pengusaha dia tidak mau rahasia inovasinya diketahui pihak lain. Sebab hal itu merupakan nilai tambah dan pembeda untuk produknya. Dia pengusaha, bukan peneliti. Terbukti kemudian dia menawar-nawarkan teknologi Nikuba itu seharga Rp 15 miliar.

Kedua, dia tak punya kompetensi sebagai peneliti kimia, fisika, ataupun teknik elektro -- AM peminat Kimia dan Fisika yang tak lulus SMA -- sehingga perakitan atau proses inovasi Nikuba tidak didasarkan pada metode saintifik, melainkan melalui proses trial and error di "bengkel kerja". Karena itu wajar jika AM tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saintifik tentang Nikuba.

Hal terakhir ini merupakan kelemahan serius bagi para inovator independen di luar lembaga riset seperti AM. Masalah serupa juga dialami oleh sejumlah petani inovator yang menghasilkan galur-galur benih unggul dan pupuk/pestisida organik/biologis. Mereka tak bisa mempertanggung-jawabkan keilmiahan inovasinya. Sehingga tak bisa mendapatkan sertifikat pelepasan untuk komersialisasi dari Kementan.

Kasus Nikuba ini bisa menjadi titik tolak bagi BRIN untuk lebih memperhatikan nasib para inovator independen yang umumnya tidak atau kurang mendapat dukungan pemerintah.

Sebenarnys BRIN punya Program Fasilitasi Inovasi Akar Rumput di bawah Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat, dan UMKM. Jangkauan program yang baru diluncurkan tahun 2023 perlu diperluas ke berbagai bidang kegiatan dan daerah. 

Juga harus diperdalam sehingga tak hanya merangkul inovasi yang sudah ada. Tapi juga menumbuhkan dan mendampingi inovator akar rumput di berbagai bidang. 

Para inovator independen di akar rumput umumnya tak hanya miskin pengetahuan teori dan metode saintifik, tapi juga miskin jaringan sosial dan modal finansil. Akibatnya mereka kerap menjadi korban "maling inovasi". Di situlah pemerintah, dalam hal ini BRIN, seharusnya hadir.

Satu hal yang perlu diingat, senyeleneh atau seabsurd apapun inovasi independen itu, semisal Nikuba AM, selalu ada kandungan nilai kebenaran, kemanfaatan, dan keamanan padanya. Sekecil apapun nilai-nilai itu, kewajiban pemerintah lewat BRIN untuk membantu pengembangannya secara saintifik, sehingga bisa menjadi inovasi yang berguna untuk kemaslahatan masyarakat. (eFTe).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun