Sore hari.
Setelah seluruh hadirin makan siang bersama. Setelah semua jambar, potongan daging kerbau sebagai bentuk pengakuan adat, lengkap dibagikan kepada hula-hula, dongan tubu, dan boru yang berhak menerima.
Di pekuburan Hutabolon.
Setelah penatua Gereja Katolik mengembalikan suami-istri Ompu Panderaja ke pangkuan Tuhan. Setelah semua anggota keluarga, termasuk Poltak dan Berta, melemparkan bongkahan tanah ke dalam liang lahat. Setelah penggali kubur mulai menutup liang lahat dengan tanah.
Poltak menyingkir ke bagian atas lereng bukit pekuburan. Duduk di situ sambil mengamati anggota kerabatnya yang masih mengitari liang lahat kakek dan nenek buyutnya.
“Duduklah di sini, Berta,” sambut Poltak saat Berta mendatanginya ke situ, sambil menepuk tanah berumput di sebelah kirinya. Dia tak lagi kesal pada Berta.
Berdua, mereka duduk membisu di situ, memandangi kuburan kakek dan nenek buyut Poltak.
“Lihatlah, Berta. Sungguh elok sarimatua bersama. Semoga kelak kau begitu juga, pariban,” bisik Poltak dalam hati, berdoa untuk Berta.
“Poltak, lihat itu. Bukankah indah sarimatua bersama? Kelak aku ingin seperti itu. Mauku bersamamu,” bisik Berta, dalam hati juga.
Poltak dan Berta saling pandang. Lalu saling tukar senyum. Sudah saling tahu suara hati masing-masing walau tak pernah terucapkan.
Berdiri berendeng di atas gundukan tanah pusara, sepasang sosok kakek dan nenek melihat ke arah Poltak dan Berta sambil tersenyum. Itu sosok kasat mata kakek-nenek buyut Poltak.