“Aneh sekali,” pikir Poltak.
Tapi dia tak sempat berpikir lebih jauh. Sebab gondang sudah diminta dan tortor sudah dimulai. Pertama Gondang Mula-mula, pembuka, lalu Gondang Somba-somba, penyembahan kepada Tuhan, kemudian Gondang Liat-liat, berkeliling memberi pasu-pasu, berkat.
Saat Gondang Liat-liat, barisan hula-hula tulang bergerak memutar ke depan barisan keluarga Ompu Panderaja untuk memberikan berkat. Satu per satu hula-hula tulang menyampirkan ulos ke bahu boru atau menumpangkan kedua tangan pada pelipis boru. Boru sendiri manortor dengan posisi sembah, lalu menyentuh dagu atau pipi hula-hula tulang sebagai ungkapan rasa hormat dan terimakasih.
“Berta, jangan pegang-pegang kepalaku!” Poltak menolak saat Berta hendak menyentuh kedua pelipisnya untuk memberi berkat.
“Ih, harus itu, Poltak.” Berta memaksa.
Ama Rumiris dan Nai Rumiris, ayah dan ibu Berta, tertawa menyaksikan ulah Poltak dan Berta. Demikian pula ayah, ibu, dan nenek Poltak.
Poltak sibuk berkelit. Jangan sampai Berta memberkatinya.
Berta akhirnya kesal. Dia mengembangkan ulosnya, lalu menutupkannya ke kepala Poltak. Kepala dibungkus seperti itu, Poltak gelagapan dan hampir terjatuh. Untung dia cepat-cepat ditangkap ayahnya.
Semua hadirin yang melihat ulah Berta dan Poltak itu tergelak.
“Sudah cocoklah itu! Jodohkan saja mereka berdua di depan jenazah kakek dan nenek buyutnya!” Seseorang, entah siapa, berteriak. Disambut tawa hadirin.
Berta ikut tertawa. Puas hatinya. Sembari memeletkan lidah, dia meninggalkan Poltak yang hanya bisa melotot kesal.