Lha, angka 6,223 views itu kan maunya pembaca. Bukan mauku. Walau aku oke-oke saja, sih. Jadi kalau mau sakit hati, sana sakit hatilah pada pembaca. Iya gak, sih?
Tapi di situlah letak urgensi dan relevansi kontekstualitas sebuah puisi. Puisi anggitan Felix itu kebetulan memanfaatkan viralitas "ijazah palsu" Jokowi sebagai konteks. Dengan begitu dia menjadi puisi kontekstual.
Kontekstualitas itu menjadi semacam cahaya lampu yang mengundang ribuan laron di malam hari. Itu menjelaskan 6,000-an views pada puisi Felix Tani.
Tapi pada akhirnya tiba juga hari "pembalasan". Kebetulan sedang viral hujatan pada puisi Butet Kartaredjasa yang dinilai menyindir dua bacapres 2024. Bahasanya dinilai vulgar: seorang bacapres disebut "penculik", lainnya disebut "pandir".
Nah, itu sebuah konteks yang seksi, berpotensi menarik banyak orang. Maka lahirlah puisi "Jangan Buat Puisimu dengan Kata-kata Api" (K. 27/6/2023) dari jemari Ayah Tuah. Â Itu sebuah puisi yang berseru-seru.
Berikut bait pertama dan dua bait terakhirnya:
"Karena itu bukan hanya orang lain
terbakar
tapi juga membuat hati sendiri
kehilangan nalar
...
Kelapa tua lebih berminyak
Manusia tua sebaiknya lebih bijak
Bukan demi sekelompok puak
Atau kebencian yang meruyak
Dan puisi adalah kumpulan kata
Yang indah
Sekalipun yang disampaikan
Sesuatu yang berdarah."
Puisi itu adalah teguran sekaligus nasihat kepada Butet -- sebab ilustrasinya sosok Butet Kartaredjasa -- agar senantiasa bijak dalam berkata-kata tentang orang lain, sekalipun orang itu tak disukainya. Jangan menebar kata-kata api yang bisa membakar emosi sekelompok orang.