Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Local Pride, Naturalisasi, Kegilaan Erick Thohir, dan Masa Depan Sepak Bola Kita

9 Juni 2023   07:54 Diperbarui: 9 Juni 2023   17:23 5540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erick Thohir "gila"! Benar-benar "gila"! -Felix Tani

Di kancah sepakbola, semangat local pride itu bukanlah anti-naturalisasi. Dia sejatinya adalah rasa minder yang mengerucut pada sikap etnosentris. Menganggap pelatih dan pemain lokal sebagai kekuatan terbaik untuk memajukan sepakbola nasional di masa depan. 

Semangat local pride itu pertama diserukan Markus Horison.  Dia meneriakkan frasa local pride menyambut keberhasilan  Timnas U-16 Indonesia -- yang seluruh pemainnya asli lokal --  menjuarai  Piala AFF U-16 2022 pada 12 Agustus 2022.   

"Campione! Local pride! Local pride, tapi ori!" soraknya. Dia menjadi pelatih kiper Timnas U-16 saat itu. Mendampingi Bima Sakti, pelatih utama.

Teriakan "Local pride!" terdengar juga pada 16 Mei 2023 lalu.  Kali ini bukan dari pelatih atau pemain tapi dari kalangan warganet pendukung timnas. Frasa itu disuarakan menyambut sukses Timnas U-22 Indonesia menjuarai cabor sepakbola di SEA Games 2023 Kamboja. 

Seluruh pemain di Timnas U-22 itu asli lokal. Pelatihnya juga lokal yaitu Indra Sjafri, pelatih utama dan Markus Horison, pelatih kiper.

Markus dan para pendukung local pride kemudian banjir kecaman di media sosial dan media massa. Mereka dianggap anti-naturalisasi pemain dan anti pelatih impor. 

Kebetulan ada koinsidensi antara ujaran "Local pride!" itu dengan kehadiran pelatih Shin Tae-yong (STY) dari Korea Selatan. Juga dengan naturalisasi sejumlah pesepakbola Eropa berdarah Indonesia untuk memperkuat Timnas kita.

Markus Horison, juga Bima Sakti, telah membantah anggapan itu.  Kita sebaiknya percaya saja pada bantahan itu.  

Sebab mereka pasti paham naturalisasi pesepakbola, juga penggunaan pelatih asing, sudah lazim menjadi strategi pengungkitan prestasi sepakbola di berbagai negara Asia-Afrika. Indonesia bukan perkecualian.

Lebih tepat menafsir ungkapan "Local pride!" itu sebagai ekspresi rasa minder terhadap pemain naturalisasi dan pelatih asing. Minder karena, faktual, kualitas pemain naturalisasi dan pelatih asing  memang di atas rata-rata pemain dan pelatih lokal.  

Rasa minder itu lalu mengerucut menjadi sikap etnosentrisme. Suatu anggapan bahwa pemain dan pelatih lokallah kekuatan terbaik untuk mengantar sepakbola Indonesia ke pentas dunia. 

Penilaian etnosentris semacam itu jelas berlebihan.  Betul timnas kita sukses menjuarai Piala AFF U-16 dan Cabor Sepakbola U-22 SEA Games 2023. Tapi baru satu kali itu saja setelah bertahun-tahun. Itu  tidak cukup sebagai dasar mengatakan pemain dan pelatih lokal kita sudah mencapai level kelas dunia. 

Jangankan di level dunia, atau katakanlah Asia. Di level Asia Tenggara saja Timnas Indonesia itu belum teruji sebagai campione, juara.

***

Poster promosi pertandingan persahabatan FIFA antara Indonesia dan Argentina pada 19 Juni 2023 (Foto: kolase via indosport.com)
Poster promosi pertandingan persahabatan FIFA antara Indonesia dan Argentina pada 19 Juni 2023 (Foto: kolase via indosport.com)

Sikap etnosentrisme bisa menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan prestasi sepakbola nasional.  Tersebab mengingkari fakta kualitas persepakbolaan nasional jauh tertinggal di belakang Eropa.  

Menolak naturalisasi pemain karena itu berarti menolak salah satu moda efektif pembelajaran dan pemelajaran sepakbola bermutu tinggi.  Tidak saja dalam hal keunggulan strategi dan teknik serta ketangguhan fisik. Tapi terutama dalam hal kehebatan visi bermain dalam tim dan ketangguhan mental. 

Dua hal terakhir ini adalah kekurangan utama pesepakbola lokal.  Sekurangnya demikian penilaian STY.  Visi bermain dan mentalitas pemain kini menjadi fokus STY dalam pembenahan timnas. Sebab percuma punya ketrampilan teknis dan ketangguhan fisik kelas Eropa tapi mentalitas kelas inlander yang serba minderwaardig.

Sebagai contoh saja. Kekalahan Timnas kita dari Vietnam pada semifinal Piala AFF 2022 lebih disebabkan kemiskinan visi bermain dan kelemahan mentalitas. Khususnya pada pemain lokal. Bisa disaksikan pemain naturalisasi, misalnya Jordi Amat, begitu gregetan di lapangan. Beberapa kali dia terlihat berteriak, dengan mimik kesal, pada teman-temannya yang tampak kalah mental. Sehingga kerap salah passing, kehilangan bola, dan tidak fokus.

Dengan pengalaman Eropa, pemain naturalisasi seperti Jordi Amat jelas punya visi bermain yang lebih baik dan mental yang lebih tangguh. Itu tampak jelas di lapangan. Wajar jika dia kerap kecewa pada teman-temannya yang gagal mengantisipasi umpan dan gerakan-tanpa-bolanya. Tersebab kesenjangan dalam visi bermain.

Agaknya memang belum terjalin komunikasi yang baik antara pemain naturalisasi dan pemain lokal dalam timnas kita.  Di satu pihak, sedikit banyak mungkin ada perasaan superior pada diri pemain naturalisaai. Di lain pihak, pemain lokal mungkin merasa inferior. Perasaan seperti itu muncul karena kehadiran pemain naturalisasi dipersepsikan para pemain lokal sebagai manifestasi ketakpercayaan PSSI pada kemampuan mereka.

Barangkali, karena menyadari adanya gap sosial antara pemain naturalisasi dan pemain lokal, pelatih Indra Sjafri memutuskan penggunaaan total pemain lokal untuk Timnas U-22 yang berlaga di SEA Games 2023. Dia tak mau ambil risiko. Sebab gap semacam itu bisa kontraproduktif terhadap performa tim.

Timnas U-22 memang sukses menjuarai cabor sepakbola di SEA Games 2023. Tapi itu tidak serta merta membuktikan untuk menjadi juara Asia Tenggara, Asia, atau Dunia, Timnas Indonesia cukup mengandalkan pemain dan pelatih lokal.

Level performa timnas kita sekarang belum bisa menjamin Indonesia akan menjadi "Raja Asia Tenggara".  Jangan kata untuk aras Asia atau dunia yang dikuasai tim-tim sepakbola yang berkiblat pada standar Eropa.  

Pendek kata, mustahil timnas kita bertransformasi menjadi tim kelas dunia, tanpa mencapai standar sepakbola modern Eropa terlebih dahulu.

***

Tampaknya Ketua Umum PSSI Erick Thohir sangat paham tentang keunggulan sepakbola modern Eropa itu. Pengalamannya sebagai pemilik/presiden klub sepakbola Inter Milan (Italia), juga pemilik DC United (AS), lebih dari cukup untuk menyadari hal itu.

Bagi Erick performa sepakbola kelas dunia ada pada sepakbola modern Eropa. Itulah kiblat sepakbola dunia kini. Perhatikan pemain-pemain sepakbola kelas dunia dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia adalah pemain yang berkiprah di liga-liga utama Eropa. Timnas Argentina, juara dunia 2022, misalnya berisikan pemain-pemain yang kenyang di liga Eropa.

Karena itu Erick Thohir mematok standar sepakbola modern Eropa sebagai target pengembangan sepakbola nasional. Untuk mencapai target itu, tak cukup dengan cara-cara biasa. Harus luar biasa. 

Itu sebabnya akhir-akhir ini  Erick menggagas dan melakukan sejumlah langkah yang terkesan "gila", benar-benar gila. Coba simak.

Pertama, naturalisasi pesepakbola Eropa berdarah Indonesia. Bukan hanya satu dua orang, tapi banyak.  Shayne Pattinama (Viking FK Norwegia) Sandi Walsh (KV Mechelen Belgia), Ivar Jenner (Jong Utrecht Belanda), dan Rafael Struick (ADO Den Haag Belanda) adalah nama-nama baru, mengikuti Jordi Amat dan Marc Klok. Erick belum berhenti mencari.

Erick Thohir percaya bahwa, jangka panjang, interaksi pemain naturalisasi -- yang tetap bermain di klub-klub Eropa --  dan pemain lokal akan mengangkat standar performa Timnas. Tentu dengan syarat timnas mampu bertransformasi menjadi sebuah tim ajar (learning team) yang efektif. Semua pemain menjadi pembelajar sekaligus pemelajar sepakbola dalam praktik.

Kedua,  mencari direktur teknik PSSI asal Eropa. Langkah ini jelas mengisyaratkan Erick Thohir benar-benar mematok standar sepakbola modern Eropa sebagai sasaran besar PSSI. 

Diberitakan Erick sedang mencari sosok direktur teknik di lingkungan sepakbola Jerman.  Nama Joachim Low, pelatih yang membawa Jerman juara dunia 2014,  santer terdengar. Bukan tak mungkin jadi kenyataan.

Sangat mungkin juga pelatih asal Eropa, dengan kualifikasi kelas piala dunia, akan direkrut menggantikan Shin Tae-yong. Itu wajar saja.

Ketiga, laga persahabatan FIFA dengan ranking 1 dunia. Bagi banyak orang, di Indonesia dan luar negeri, laga persahabatan FIFA antara Timnas Indonesia dan Timnas Argentina, ranking 1 dan juara Piala Dunia 2022, adalah langkah yang benar-benar "gila".  

Apa yang bisa dilakukan timnas kita, ranking 149, terhadap Timnas Argentina, ranking 1? "Itu ibarat katak menantang lembu," bisik orang mencibir.

Tapi jangan lupa. Erick Thohir itu darah dan syarafnya pengusaha. Dalam dunia usaha berlaku satu prinsip ini: jika mau hebat, maka harus bersaing dengan yang lebih hebat.  Bersaing dengan yang lebih kecil, lemah, mungkin membuat suatu perusahaan tampak "baik" (good), tapi itu tak akan membuatnya "hebat" (great). 

Begitulah. Jika Timnas Indonesia mau jadi hebat, kelas dunia, maka dia harus percaya diri dan teguh hati menghadapi tim kelas dunia seperti Timnas Argentina. Selanjutnya mungkin Timnas Maroko dan Timnas Portugal. 

Begitulah cara terbaik untuk naik kelas. Bukan dengan melawan tim-tim papan tengah-bawah, katakanlah tim-tim Asia Tenggara. Itu boleh jika targetnya hanya mau menjadi "raja kodok di bawah tempurung".

Empat, mempromosikan pemain lokal untuk bermain di klub-klub Eropa. Pertama-tama ke klub-klub papan bawah dulu. Seperti Marselino gabung ke klub divisi dua Belgia. Tembakannya, pada akhirnya, klub-klub papan atas. Tentu langkah tersebut harus dilakukan PSSI secara terencana dan intensif.

Promosi semacam ini mesti dilakukan sebagai pengimbang naturalisasi. Dengan cara itu, jangka panjang, Timnas Indonesia pada akhirnya akan diperkuat oleh pemain-pemain lokal dengan kualitas Eropa (baca: dunia). Timnas Maroko di Piala Dunia 2022 adalah eksemplar terbaik untuk skema seperti itu.

***

Tulisan ini hanya mencoba menafsir makna dan arah langkah-langkah yang diambil Erick Thohir saat ini selaku Ketum PSSI. Rencana jangka panjang transformasi sepakbola Indonesia memang belum rampung disusun. Tapi ada keyakinan bahwa langkah-langkah di atas adalah bagian integral dari rencana itu. 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah PSSI, atau sepakbola nasional, masa depan persepakbolaan Indonesia telah diterakan dengan tegas dan jelas. Memang sudah sejak lama hidup cita-cita Timnas Indonesia melangkah ke ajang Piala Dunia. Tapi baru hari ini cita-cita itu mulai diwujudkan dengan langkah-langkah yang mengarahkan Timnas Indonesia menuju level kelas dunia. 

Kelak, saat level kelas dunia itu telah tercapai, maka naturalisasi dan lokal tidak lagi berimplikasi senjang sosial. Melainkan berimplikasi pada persatuan dan nasionalisme, dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika. 

Mudah-mudahan langkah-langkah "gila" Erick Thohir bukan cuma foreplay yang  tak pernah dituntaskan. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun