Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Nasib Malang Seekor Tikus Ganjen Pelanggar HAM

1 Juni 2023   19:06 Diperbarui: 1 Juni 2023   20:49 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor tikus ganjen masuk perangkap (Dokpri)

Aku paling benci dengan kata "ganjen". Terlebih jika kata itu dilekatkan pada sesosok mahluk. Entah dia manusia atau hewan.

Apa gunanya ganjen, coba. Cuma bikin sebal saja. Sekurangnya untukku. Entah kalau untuk Acek Rudy dan Ayah Tuah, ya. Mereka cara pikirnya rada anu, gitu.

Tapi lupakanlah itu. Lagian ini bukan soal manusia. Ini soal seekor tikus.

Harus kumaklumatkan, sejak balita aku gak pernah mencintai tikus. Bagiku tikus-tikus itu cuma hama tanaman, maling, sumber penyakit, dan sumber bau.

Tapi aku masih bisa rada mentolerir hak asasi hewan pengerat bermoncong runcing itu. Kalau dia cuma bermain-main di luar rumah, ya, sudahlah.  Beri dia kesempatan hidup.

Tapi kalau mereka gak tahu diri, kubikin hajap jugalah.  Misalnya merusak tanaman atau berak sembarang tempat. Racun dan atau perangkap pasti bertindak. Vonisnya: Mati!

Yang totally tak bisa kutolerir adalah invasi tikus ke dalam rumah. Itu namanya Rattus rattus menginjak-injak kedaulatan dan hak asasi Homo sapiens gangsapiers. 

Bagi orang Batak, hukumnya sangaat gamblang. Hu sanggar ma amporik, hu lombang ma satua. Terhemahan bebasnya, "Pipit punya sarang, tikus punya lubang." Gak adalah itu hukumnya tikus masuk rumah manusia.

Whatever, aku harus melawan!

Begini gelar perkaranya.

Kemarin siang, aku sedang duduk ngompi sambil ngeteh di meja dapur.  Sedang enak sendiri begitu, eh, tiba-tiba seekor tikus nongol di pojok dapur.

Bah, ganjen banget itu tikus, ya! Dari mana pula datangnya?

Otomatis refleks kusambar golok She Tan andalan, dong. Eh, saat kuayunkan golok, tikus itu berkelit lalu secepat kilat menyusup ke bawah mesin cuci. Kuoprak-oprak, dia gak nongol-nongol. 

"Baiklah," kataku dalam hati. "Kubikin gak nyaman kau di situ." Kuduga, tikus itu bersembunyi di dalam mesin cuci.

Segera kuisi mesin cuci dengan pakaian kotor, sabun, dan pewangi. Tekan tombol ini dan itu, "wurrrr", mesin cuci beroperasi. Goncang, goyang, dan bising. "Rasakan!" umpatku.

Hanya soal waktu saja.

Benarlah begitu. Tikus itu keluar dari bawah mesin cuci. Lalu lari melesat ke balik kompor gas.  

Bah, ngajak main petak umpet dia. Ganjen betul, ya.

Aku sebenarnya langsung memainkan jurus Golok She Tan Membelah Duren. Tapi, ya, begitulah. Dasar sudah lansia, gerak menjadi lamban, tikus itu lolos lagi dari tebasan golokku.

"Baiklah " kataku sambil menyarungkan golokku. "Kita adu otak saja." Aku yakin menang kalau adu otak, tapi menyerah kalau adu lari. Soalnya volume otak  tikus kan jauh, jauh, jauh sekali lebih kecil dibanding volume otakku.

Sedungu-dunguny manusia, meminjam kosa kata favorit Rocky Gerung,  pastilah jauh lebih cerdas ketimbang seekor tikus. Kecuali "tikus" itu ahlinya ahli korupsi, ya.

Aku berhenti adu otot dengan tikus ganjen itu. Adu pinter ajalah.

Malamnya, menjelang tidur malam, kupasanglah perangkap tikus di depan kompor. Umpannya oke punya. Roti tawar isi potongan ikan gabus asin mentah.  Kurang mewah apa, coba.

Perangkap kutinggal tidur. Aku lelap menunggu pagi datang sendiri. Dengan keyakinan tikus ganjen itu pasti masuk perangkap.

Itulah yang terjadi. Pagi hari aku bangun dan menemukan seekor tikus sedang panik di dalam perangkap. Dia berusaha keluar dari kisi-kisi perangkap. Sia-sia, betul-betul sia-sia upayanya.

Aku coba berempati. Kubayangkan tikus itu sangat menyesal telah menginvasi rumah Engkong Felix. Dia tak pernah nenyangka Engkong ternyata seorang kompasianer yang sudah kenyang dengan politip di Kompasiana. Termasuk tip jitu memerangkap tikus ajaran Guru Arif Praba Lingga.

Nah, sampai saat ini tikus itu masih kupenjarakan dalam perangkap atas kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Boleh dibilang, tikus itu telah melakukan kejahatan kemanusiaan.

Hingga artikel ini selesai kutulis, aku belum menemukan hukuman yang pantas baginya. Hukuman mati menurutku terlalu mudah dan biasa untuk seekor tikus.

Menurut kamu, apa hukuman yang pantas bagi tikus ganjen itu. Tolong beri saran pada kolom komentar di bawah ini. (eFTe)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun