Minum miras itu dulu bagi kami terbilang proses pendewasaan. Belajar mengendalikan diri dan tanggung-jawab pada diri sendiri.Â
Mabuk minum miras itu tanda ketakdewasaan. Tak mampu mengendalikan diri. Juga tanda tak bertanggung-jawab pada diri sendiri.
Setelah dewasa dan kerja, aku merasakan juga manfaat lain. Manfaat sosial-budaya dalam konteks interaksi sosial dengan etnis lain.
Sewaktu melakukan riset sosial di Wolowaru, Ende Flores, tahun 1990 saya kerap dijamu secara adat oleh tokoh-tokoh adat kampung (mosalaki dan riabewa). Salah satu ritual dalam jamuan itu adalah minum moke, sulingan air tuak lontar. Kadar alkoholnya bisa mencapai 40 persen.Â
Minum moke yang disajikan para tua-tua adat itu adalah simbol saling-menerima secara sosial. Dengan menyajikan moke, berarti tetua adat menerima kehadiranku. Dengan meminum moke, berarti aku masuk ke dalam rumah mereka.Â
Beruntung aku sudah agak terbiasa dulu minum tuak, anggur kolesom, dan kamput. Saraf otak sudah cukup terlatih. Jadi, saat minum moke, santai saja seperti para tetua adat yang meminumnya seperti minum air mineral. Kerongkongan memang serasa dibakar, dan kepala serasa disentak . Tapi tak sampai mabuklah. Apa jadinya jika peneliti mabuk di antara informan riset? Malu kalipun itu.
Apakah aku sedang menganjurkan minum miras di sini? Sama sekali tidak. Aku cuma mau berbagi cerita bahwa dalam konteks sosial-budaya tertentu minum miras itu perlu dan harus. Tapi dilarang mabuk. Sebab mabuk selalu berujung pada kesia-siaan.(eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H