Minum minuman keras (miras) itu bukan dosa. Sejauh itu dilakukan dan dinikmati dalam konteks tradisi budaya. --Felix Tani
Mungkin kamu tak sepakat dengan pandangan di atas. Karena kamu melihat miras dari sudut pandang agama yang mengharamkannya. Aku bisa memakluminya.
Biarlah kita beda pandangan. Â Dalam agama yang kuanut, pemimpin ibadah tiap hari Minggu minum seteguk anggur merah di hadapan umatnya. Dalam konteks itu, miras adalah keharusan.Â
Tapi aku tak hendak berlindung di balik ajaran agama untuk menerima atau sebaliknya menolak miras. Ini sepenuhnya soal sosio-budaya. Soal bagaimana miras ditempatkan dan mendapat tempat dalam konteks budaya lokal.
Aku akan memaparkannya berdasar pengalaman subyektifku sebagai orang Batak. Silahkan disimak tanpa pretensi negatif.
***
Miras pertama dan utama bagi orang Batak adalah tuak nira. Tuak nira akan mengandung alkohol sekitar 5-20% setelah kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon) direndam di dalamnya.Â
Tuak adalah miras adat dalam budaya masyarakat Batak di Tanah Batak sana.  Tuak disajikan dalam setiap upacara adat ritus peralihan. Mulai dari kelahiran, perkawinan, manulangi (menyulangkan makanan kepada orangtua yang sudah uzur),  kematian, sampai mangongkal holi (menaikkan tulang-belulang dari makam tanah ke rumah belulang).Â
Lazimnya tuak dihidangkan oleh boru (pihak penerima istri) kepada hula-hula (pihak pemberi istri). Istilahnya tuak tangkasan aek sitio-tio, tuak baru yang segar dan jernih. Itu simbol harapan baik di masa depan.
Jadi jelas tuak dihidangkan dalam upacara adat sebagai simbol harapan baik. Bukan untuk mabuk-mabukan. Sebab jika tetamu mabuk tuak, nistalah upacara adat itu. Orang akan mencela orang-orang mabuk itu sebagai manusia-manusia tak beradat.