Di lapo tuak, para lelaki Batak minum tuak juga bukan untuk mabuk, tapi untuk pergaulan sosial. Orang Batak menilai mabuk itu pertanda tak mampu mengendalikan diri. Sesuatu yang dinilai buruk. Sehingga lazim seseorang yang minum berlebihan akan diingatkan temannya, agar tak sampai mabuk.
Tapi, ya, begitulah. Ada saja orang bermasalah dan menganggap tuak sebagai solusi temporal instan untuk segala masalah. Maka mabuklah dia, melupakan masalah yang sebenarnya masih lekat padanya.
Terhadap orang seperti itu, teman-temannya cuma bisa menasihati. Â Sekalian mengantarnya pulang ke rumah agar tak tertidur di selokan atau kandang babi. Walau kerap juga istrinya -- dalam kasus sudah menikah -- ogah buka pintu. Ujung-ujungnya tidur di kolong rumah juga dia.
***
Tuak dan kebatakan itu ibarat darah dalam tubuh. Sejauh masih di kampungnya di Tanah Batak sana, agak sulit membayangkan tenggorokan seorang lelaki Batak steril dari aliran tuak.
Minum tuak tak mesti di lapo tuak. Tapi seperti disinggung di atas, bisa juga dalam acara-acara adat. Tak perlu juga banyak. Segelas cukuplah. Â
Aku mengalami minum miras semasa SMA. Waktu itu minum tuak, tentu saja. Tapi juga miras lain, produk pabrikan seperti anggur kolesom "Vig**r" atau "Ora** Tua" dan kamput (cap Kamb**g Put**"). Â Anggur kolesom dan kamput itu tergolong miras kerakyatan di Tanah Batak.
Ada jadwalnya. Minum miras pabrikan biasanya pas malam Minggu dengan teman-teman. Yah, namanya "anak muda" rasanya tak sah kalau tak minum miras (dan merokok). Minum miras, cukup segelas, tanda dewasa.
Minum tuak lazimnya hari Minggu sore. Pagi ke gereja, sore hari raun-raun lalu minum tuak di lapo. Kontradiktif? Tidak juga. Cuma minum, kan. Tak sampai mabuk.
Jamak di kampungku pada hari Minggu sore anak muda, perjaka dan perawan, jalan-jalan sore. Sambil saling lirik dan sapa, mana tau ada yang cocok di hati. Kalau cocok, nanti lanjut martandang, perjaka tandang ke rumah perawan.
Sebagai gambaran, baiklah aku ceritakan satu pengalaman minum miras.Â