Dari titik waktu itu, hingga kembali dari mengantar jenazah almarhum paklik ke TPU Untoroloyo Kandang Sapi, aku tak bersua lagi dengan Si Mbak peracik sawur itu. Â
***
Di dalam rumah, di samping almarhum yang dibaringkan di dalam peti mati, saya merenung.
Jadi, bagi orang Jawa, kematian itu semacam simpul doa rupanya. Doa agar almarhum mendapat kemurahan dari Tuhan dan ampunan atas segala dosanya. Begitupun dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya.
Tradisi sawur itu adalah laku doa  orang Jawa kepada Tuhan dalam konteks kematian. Semoga almarhum dengan segala karya baiknya semasa hidup (simbol beras kuning), amal baiknya (simbol uang koin), dan perilaku terhormatnya (simbol kembang) diterima Tuhan di sisi-Nya.
Juga, semoga keluarga yang ditinggalkan tetap dilimpahi Tuhan dengan kesehatan dan keberhasilan dalam karya. Senantiasa dapat berbagi kepada sesama. Dan mendapat tempat terhormat di antara sesamanya.
Memang kini ada anggapan tradisi sawur itu tidak selaras dengan ajaran agama. Mungkin itu bisa menjelaskan alasan mengapa sawur tidak selalu ada saat pemberangkatan jenazah orang Jawa ke kuburan.Â
Tapi jika dilihat dari makna simbolik beras kuning, uang koin, dan kembang pada sawur, mestinya tidak perlu ada yang perlu ditakutkan para agamawan dengan tradisi itu. Maknanya adalah doa bagi almarhum dan kerabat yang ditinggalkan.
Bahkan sawur itu punya manfaat juga bagi lingkungan. Anak-anak bersukaria memperebutkan uang koin sawur sepanjang jalan. Lumayan buat jajan.
Burung-burung pemakan biji, semisal burung gereja, mendapatkan beras kuning sebagai pakan gratis di tepi jalan.Â
Kembang mungkin sebentar mengotori jalanan. Tapi segera dia akan membusuk lalu menjadi pupuk organik.