Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sosiologi Kuburan: Makna Sawur dalam Pemakaman Orang Jawa

21 Mei 2023   15:42 Diperbarui: 22 Mei 2023   02:25 2360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mempersiapkan sawur untuk apacara pemakaman dalam adat Jawa Surakarta (Dokpri)

Minggu, 14 Mei 2023, menjelang siang, sepulang dari gereja.  Tak diharap, pesan lelayu masuk via WA di layar ponsel. Seorang kerabat, paklik (82), berpulang di Surakarta.

Malamnya, pukul 20.45 WIB, kereta api Argo Lawu jurusan Stasiun Solo Balapan bertolak dari Stasiun Gambir Jakarta. Di dalam salah satu gerbongnya ada bapak mertuaku, istriku, dan aku. Perjalanan menuju titik duka dimulai. Itu jauh dari menarik, bahkan tidak diharapkan.  

Stasiun Balapan Solo, pukul 03.50 WIB. Kereta tiba tepat waktu. Sebaiknya memang begitu. Jangan bikin kesal orang berduka dengan keterlambatan kereta. Pahalamu dipotong!

Perjalan ke rumah duka dilanjutkan menggunakan jasa Gocar. Ongkosnya cuma Rp 16.500. Jauh di bawah tarif taksi stasiun sebesar Rp 50,000 untuk semua tujuan dalam kota.  Bagaimana bisa bersaing?

Tak sampai sepenghisapan rokok, kami sudah tiba di rumah duka. Peluk cipika-cipiki, saling melepas duka, dengan air mata tersimpan di pelupuk mata. 

Melepas rasa duka tanpa ratap-tangis. Ingat, ini keluarga Jawa. Pandai menyimpan duka. Bukan keluarga Batak yang full andung, ratapan duka khas Batak.  

 ***

Setelah saling-lepas rasa duka, dan memanjatkan doa pribadi untuk almarhum, aku beristirahat di teras samping rumah. Beberapa orang tetangga dan kerabat sedang sibuk menyiapkan kelengkapan upacara pemakaman menurut adat Jawa di situ. 

Meski sedang berduka dan terkantuk-kantuk, lantaran selalu gagal lelap di kereta api, naluri risetku tak bisa dibendung.

"Mbak, lagi bikin apa?"tanyaku pada seorang perempuan yang mencampur beras kuning, uang koin, dan kembang di dalam sebuah rantang plastik.

Itu menarik perhatianku. Sebagai orang Batak, aku belum pernah melihatnya. Bahkan dalam beberapa kali menghadiri pemakaman orang Jawa di Jakarta, aku belum pernah menyaksikannya.

"Ini namanya sawur."

"Sawur? Apa itu, Mbak."

"Ya, sawur. Nanti disawur di sepanjang jalan menuju makam. Isinya beras kuning, kembang, dan uang koin delapanpuluh dua keping, sesuai umur almarhum."

"Apa artinya beras kuning, uang koin, dan kembang itu, Mbak?"

"Beras kuning ini lambang kesehatan dan kesuburan.  Uang koin lambang sedekah, amal perbuatan almarhum sepanjang usia hidupnya. Kembang ini melambangkan kehormatan. Kembang tempatnya di pucuk, tinggi, terhormat." 

"Oh, begitu. Baru tahu aku."

"Lha, bapak bukan orang Jawa, ya, Pak."

"Bukan. Aku orang Batak."

"Kok bisa ada di sini, Pak?"

Ah, Si Mbak mulai kepo. Itu panjang ceritanya. Tak elok dikisahkan. Sebab aku ada di situ untuk berkabung, bukan untuk menceritakan riwayat hidup.

"Dhisik ya, Mbak.  Kulo badhe ngunjuk, dhisik." Aku menghindar ke dalam rumah dengan alasan mau minum. 

Dari titik waktu itu, hingga kembali dari mengantar jenazah almarhum paklik ke TPU Untoroloyo Kandang Sapi, aku tak bersua lagi dengan Si Mbak peracik sawur itu.  

***

Di dalam rumah, di samping almarhum yang dibaringkan di dalam peti mati, saya merenung.

Jadi, bagi orang Jawa, kematian itu semacam simpul doa rupanya. Doa agar almarhum mendapat kemurahan dari Tuhan dan ampunan atas segala dosanya. Begitupun dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya.

Tradisi sawur itu adalah laku doa  orang Jawa kepada Tuhan dalam konteks kematian. Semoga almarhum dengan segala karya baiknya semasa hidup (simbol beras kuning), amal baiknya (simbol uang koin), dan perilaku terhormatnya (simbol kembang) diterima Tuhan di sisi-Nya.

Juga, semoga keluarga yang ditinggalkan tetap dilimpahi Tuhan dengan kesehatan dan keberhasilan dalam karya. Senantiasa dapat berbagi kepada sesama. Dan mendapat tempat terhormat di antara sesamanya.

Memang kini ada anggapan tradisi sawur itu tidak selaras dengan ajaran agama. Mungkin itu bisa menjelaskan alasan mengapa sawur tidak selalu ada saat pemberangkatan jenazah orang Jawa ke kuburan. 

Tapi jika dilihat dari makna simbolik beras kuning, uang koin, dan kembang pada sawur, mestinya tidak perlu ada yang perlu ditakutkan para agamawan dengan tradisi itu. Maknanya adalah doa bagi almarhum dan kerabat yang ditinggalkan.

Bahkan sawur itu punya manfaat juga bagi lingkungan. Anak-anak bersukaria memperebutkan uang koin sawur sepanjang jalan. Lumayan buat jajan.

Burung-burung pemakan biji, semisal burung gereja, mendapatkan beras kuning sebagai pakan gratis di tepi jalan. 

Kembang mungkin sebentar mengotori jalanan. Tapi segera dia akan membusuk lalu menjadi pupuk organik.

Tak ada tradisi yang bertahan bila tak bermakna bagi pengampunya. Begitupun tradisi sawur.  Dia adalah doa kepada Tuhan untuk kebaikan almarhum dan keluarga yang ditinggalkannya. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun