Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Poltak] Sebuah Epilog

28 April 2023   17:29 Diperbarui: 28 April 2023   17:43 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepak sayap seekor burung perkutut membuat lelaki berambut perak itu tersentak. Dia terbangun dari keasyikannya menyusun keping-keping passel riwayat masa kecil seorang anak bernama Poltak.

Perkutut itu terbang dari rerimbunan pohon kemiri di kebun belakang kampung Panatapan.  Berada dalam kuncian tatapan lelaki itu, burung perkutut tadi terbang menuju barat. Dia melayang menyeberangi jalan Trans-Sumatera, sebelum kemudian menghilang ke dalam rerimbunan hutan eukaliptus.

"Ah, tidak ada lagi hutan pinus di sana. Sabuk hijau anti-api makadamia juga takada lagi.  Kini hanya ada hamparan hutan eukaliptus," keluh lelaki itu.

Dia mendapat cerita dari orang kampung, hutan pinus dan makadamia itu telah habis dipanen oleh sebuah perusahaan di Porsea. Katanya untuk digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan rayon. 

Kini areal puluhan ribu hektar itu ditanami pohon eukaliptus. Tanaman yang rakus air. Katanya untuk dijadikan bahan baku pulp dan rayon juga.

Semua memang telah berubah seiring berlalunya waktu.  Enampuluh tahun yang sudah terlewati tak hanya mengubah rupa manusia, tapi juga rupa bumi Panatapan.

Bukit Partalinsiran tempat lelaki itu duduk kini tidak lagi seperti dulu.  Tidak ada lagi rerumputan, paku resam,  dan perdu kecil yang menutup bukit itu.  Kini lereng-lerengnya sudah ditanami jahe. 

Hampir semua perbukitan di Panatapan telah berubah menjadi kebun jahe.  Mulai dari Bukit Partalinsiran di barat sampai Bukit Pardolok di timur. Tidak ada lagi tersisa padang rumput yang luas untuk mengembalakan kerbau.

Sebagian besar situs masa kecil seorang anak bernama Poltak telah hilang ditelan lubang hitam bernama pembangunan.  Benar-benar hilang tanpa bekas.  Dan selamanya pasti akan hilang dari sejarah, seandainya lelaki itu tak merekamnya dalam ingatan.

"Ah, riwayat masa kecilku.  Betapa indah," kata lelaki itu dalam hati.

"Tapi bukan," bantahnya, masih dalam hati, "itu bukanlah riwayat masa kecilku yang sebenarnya." 

"Sejatinya itu adalah cita-citaku ke masa lalu.  Seandainya Tuhan mengizinkan umurku bergerak kembali ke masa lalu, maka aku akan mengoreksi masa kecilku. Aku ingin masa kecilku seperti masa kanak-kanak Poltak yang baru saja kugubah," gumam lelaki itu, ditujukan pada dirinya sendiri. 

Tapi, apakah riwayat masa kecil bisa diubah sesuai keinginan di masa tua, andaipun Tuhan memberi izin untuk kembali ke masa lalu? 

Lelaki itu berpikir, akan seperti apa masa tuanya jika masa kecilnya tidak seperti yang telah dilaluinya dahulu.  Akan seperti apa hubungan Poltak dengan Berta, atau Rauli, pada hari ini  jika riwayat masa kecilnya diubah?

"Ah, pikiran gila." gumam lelaki itu lagi, sambil menepuk-nepuk dahinya.

"Poltak!"  Tiba-tiba terdengan suara nyaring seorang perempuan memanggil nama lelaki itu dari kaki bukit.

"Sudah sore! Turunlah dari situ! Nanti masuk angin pula kau!" Perempuan itu berteriak lagi.

"Ah, istriku. Kau tak pernah berubah.  Selalu mengkhawatirkanku," bisik lelaki itu sambil tersenyum membayangkan wajah cemas perempuan itu, istri tunggal yang dicintai dan mencintainya.(*)

*"Prolog" ini adalah penutup novel Poltak yang ditulis secara berseri di Kompasiana. Semua ada 105 nomor, tapi tiga nomor terakhir tidak ditayangkan di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun