"Tapi bukan," bantahnya, masih dalam hati, "itu bukanlah riwayat masa kecilku yang sebenarnya."Â
"Sejatinya itu adalah cita-citaku ke masa lalu. Â Seandainya Tuhan mengizinkan umurku bergerak kembali ke masa lalu, maka aku akan mengoreksi masa kecilku. Aku ingin masa kecilku seperti masa kanak-kanak Poltak yang baru saja kugubah," gumam lelaki itu, ditujukan pada dirinya sendiri.Â
Tapi, apakah riwayat masa kecil bisa diubah sesuai keinginan di masa tua, andaipun Tuhan memberi izin untuk kembali ke masa lalu?Â
Lelaki itu berpikir, akan seperti apa masa tuanya jika masa kecilnya tidak seperti yang telah dilaluinya dahulu.  Akan seperti apa hubungan Poltak dengan Berta, atau Rauli, pada hari ini jika riwayat masa kecilnya diubah?
"Ah, pikiran gila." gumam lelaki itu lagi, sambil menepuk-nepuk dahinya.
"Poltak!" Â Tiba-tiba terdengan suara nyaring seorang perempuan memanggil nama lelaki itu dari kaki bukit.
"Sudah sore! Turunlah dari situ! Nanti masuk angin pula kau!" Perempuan itu berteriak lagi.
"Ah, istriku. Kau tak pernah berubah. Â Selalu mengkhawatirkanku," bisik lelaki itu sambil tersenyum membayangkan wajah cemas perempuan itu, istri tunggal yang dicintai dan mencintainya.(*)
*"Prolog" ini adalah penutup novel Poltak yang ditulis secara berseri di Kompasiana. Semua ada 105 nomor, tapi tiga nomor terakhir tidak ditayangkan di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H