Lampung tidaklah buruk seperti kritikan mahasiswa Bimo Yudho, tapi mengapa Gubernur Lampung Arinal Djunaidi sangat resisten terhadap kritik?
Kemiskinan logika, ya, kemiskinan logika. Untuk tak mengatakan cacat logika atau sesat pikir. Itulah penjelasan dibalik resistensi itu.
Ironisnya, bukan hanya Gubernur Lampung Arinal -- mewakili semua stafnya yang terlibat dalam resistensi -- yang miskin logika. Tapi juga Bimo sendiri, mahasiswa "kritis dan berani" (?) yang dielukan, dibela, dan didukung khalayak, sekurangnya oleh warganet.
Saya akan tunjukkan kemiskinan logika pada dua pihak itu, yang mengritik dan yang dikritik. Jenis kemiskinan yang membuat kritik dan atau respon terhadap kritik menjadi tak bermutu. Kecuali bahwa kritik itu menjadi viral sambil menularkan kebodohan massal.
Kritik Mahasiswa yang Cacat LogikaÂ
Kritik Bimo atas pembangunan Lampung lewat akun TikToknya (@awbimaxreborn) langsung mengklaim bahwa "Lampung gak maju-maju". Tapi tidak dijelaskan apa indikator "gak maju-maju" itu dan sejak kapan "gak maju-maju".
Karena itu bisa dikatakan kritik Bimo bersifat normatif, umum, tak didukung oleh data yang valid dan memadai. Frasa "gak maju-maju" itu bisa saja diberlakukan untuk propinsi-propinsi lain di Indonesia. Katakanlah kepada 25 persen dari total provinsi dengan indikator kinerja pembangunan terendah.Â
Dengan begitu, klaim Bimo bahwa Lampung "gak maju-maju" itu subyektif, menurut penilaiannya sendiri yang bias pada pengalaman dan pengamatan personal.Â
Hal itu terbaca jelas dari empat faktor penyebab "Lampung gak maju-maju" yang diajukannya.
Pertama, keterbatasan infrastruktur. Bimo terutama menyoroti infrastruktur jalan rusak atau tak memadai di Lampung. Padahal jaringan jalan adalah pendukung ekonomi masyarakat.
Masalahnya Bimo tak mendasarkan kritiknya pada data yang valid dan memadai tentang pertumbuhan jaringan jalan di Lampung. Katakanlah dalam 5 tahun terakhir. Berapa kilometer pertambahan jalan aspal, perkerasan sirtu, dan tanah. Apakah positif atau negatif?
Bimo hanya memiliki data pengamatan skala mikro (desa, kecamatan) yang bersifat sporadis. Semisal jalan rusak, belum diaspal, dan tambal-sulam. Lalu berdasar itu dia mengambil kesimpulan meso, bahwa inrastruktur jalan di Lampung terbatas.Â
Itu penyimpulan secara pars pro toto, generalisasi berlebihan (hasty generalization) berdasar fakta mikro yang bersifat kasuistik dan, karena itu, tak memadai (ad ignorantum). Itu jelas bentuk kemiskinan logika yang bersifat menyesatkan.
Kedua, kelemahan sistem pendidikan. Bimo tidak menunjukkan di mana titik lemah sistem pendidikan di Lampung. Semata hanya mengungkap sistem penerimaan siswa/mahasiswa yang diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Â
Itu jelas bukan kelemahan sistem pendidikan. Melainkan penyimpangan dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Itu dua hal yang berbeda.
Lagi pula sistem pendidikan itu didisain dari pusat. Itu mencakup sejumlah unsur pendidikan yang saling-kait. Antara lain peserta didik, pendidik, interaksi edukatif, kurikulum, metode, dan infrastruktur pendidikan.
Kritik Bimo tidak saja salah sasaran, tapi juga tak menyentuh persoalan dalam sistem pendidikan itu sendiri. Katakanlah, misalnya persoalan sistem atau struktural yang menyebabkan lulusan sekolah/kampus di Lampung bermutu rendah.
Dengan mengupas masalah KKN dalam penerimaan siswa/mahasiswa, Bimo telah terjebak dalam argumen "memedi sawah" atau "manusia jerami" (strawman argument). Dia bukannya bicara kelemahan sistem melainkan penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik.
Ketiga, tata-kelola yang lemah. Bimo menyoroti kelemahan tata-kelola pemerintah daerah (pemda) dengan mengungkap masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi.
Masalahnya, dia tak mengungkap data tingkat korupsi dan inefisiensi di lingkungan birokrasi Pemda Lampung (ad ignorantum).Â
Dia hanya menyampaikan klaim bahwa birokrasi Pemda Lampung sarat korupsi dan inefisiensi. Klaim yang bisa dikenakan terhadap setiap pemda dan bahkan pemerintah pusat.
Sekali lagi, Bimo tak mengungkap kelemahan sistem tata-kelola atau pemerintahan daerah. Tapi justru mengalihkan fokus dengan bicara soal penyimpangan dalam praktek tata-kelola. Khususnya soal korupsi yang menyebabkan inefisiensi (strawman argument).Â
Keempat, ketergantungan pada sektor pertanian. Bimo menyimpulkan Lampung "gak maju-maju" karena terlalu bergantung pada pertanian. Katanya produk pertanian itu vulnerable dan harganya ditentukan pusat.Â
Itu kritik ahistoris. Sejarah pembangunan ekonomi Indonesia itu adalah transformasi dari pertanian ke industri (manufaktur dan jasa). Semua ekonomi daerah di Indonesia bergerak seturut garis transformasi itu di bawah paradigma modernisasi. Tak bisa lain.
Bahwa ada variasi tingkat transformasi antar daerah, ya, itu wajar. Ada yang pertanian masih dominan (umumnya Luar-Jawa Bali), tapi ada juga yang industrinya sudah dominan (umumnya Jawa Bali).Â
Tapi jelas ada kemajuan, setidaknya bila diukur dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDB. Secara nasional, menurut data BPS, kontribusi sektor pertania terhadap PDB Nasional tahun 2022 (Tw II) adalah 12.98 persen. Itu urutan ketiga kontribusi terbesar setelah sektor industri dan pertambangan.
Jadi bahkan pada tingkat nasional Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Bagusnya, di masa pandemi pertanian tampil sebagai penyangga yang mengindarkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan.
Lalu seberapa besar ketergantungan Lampung pada sektor pertanian? Bimo menyebut data kontribusi pertanian 40 persen -- tapi tak dijelaskan kontribusi apa. Jika yang dimaksud adalah kontribusi terhadap PDB Lampung, maka dia telah mengutip data yang salah. Karena itu argumennya gugur.
Data BPS menunjukkan kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDB Lampung adalah 27.90 persen tahun 2022 atau turun dari 28.36 persen tahun 2021. Artinya ada kemajuan dalam transformasi ekonomi, bukan?
Secara khusus kontribusi sub-sektor tanaman pangan tahun 2022 masih dominan yaitu 9.03 persen. Tapi angka ini juga sudah turun dari 9.30 persen tahun 2021. Artinya tetap ada kemajuan.
Mengkritik ekonomi Lampung terlalu tergantung pada sektor pertanian dengan demikian menjadi irrelevan karena mengabaikan proses transformasi (ad ignorantum).Â
Jika mau mengritik pertanian, mestinya Bimo membahas keterbelakangan teknologi dan kelembagaan pertanian di sana.Â
Serta mengungkap ketimpangan struktural, misalnya dalam akses terhadap tanah dan sumber-sumber lain, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi mayoritas petani kecil di sana relatif stagnan.
Resistensi Gubernur yang Juga Cacat LogikaÂ
Jika dicermati maka kritik Bimo terhadap Lampung itu, selain cacat logika dan tanpa data memadai, sebenarnya bersifat umum kalau bukan normatif.Â
Itu bisa dikenakan pada Lampung masa Orde Baru sampai masa kini. Juga bisa dikenakan pada semua provinsi di Indonesia dan bahkan pemerintah pusat.Â
Kritik Bimo itu tak lebih dari slogan-slogan unjuk rasa mahasiswa di jalanan. Atau seperti kritik-kritik para politisi oposan di medsos, media daring, dan televisi. Itu semua pernyataan-pernyataan umum yang sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Atau bisa juga diabaikan.
Anehnya, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi justru menampilkan resistensi berlebihan, kalau bukan abnormal, terhadap kritik Bimo. '
Bukannya menanggapi substansi kritik, tapi justru merespon dengan melaporkan Bimo ke polisi dan menegur ayah Bimo sebagai orangtua yang tak bisa mendidik anak.Â
Resistensi gubernur itu jelas cacat logika. Dengan melaporkan Bimo ke polisi atas frasa "dajjal" yang diucapkannya, Gubernur Arinal lewat tim hukumnya terjebak dalam cacat logika "ikan herring merah" (red herring argument). Melemparkan isu ketaksopanan Bimo ke ruang publik, menghindar dari substansi kritik.
Tidak hanya itu. Gubernur juga melakukan ad hominem, menyerang ayah Bimo secara personal, dengan mengatainya tak bisa mendidik anak. Lha, orang yang mengritik itu Bimo, anaknya, kenapa menyerang bapaknya, sih?
Sebenarnya jika Gubernur Arinal berkepala dingin, dia cukup membeber data indikator kemajuan sosial-sosial ekonomi Lampung dalam lima tahun terakhir.
Coba perhatikan angka-angka indikator pembangunan Lampung berikut ini.
Angka PDB per kapita. Angka PDB per kapita Lampung dalam lima tahun terakhir (2018-2022) cenderung meningkat yaitu berturut-turut 39.7, 42.2, 39.3, 40.9 dan 45.1 (dalam juta rupiah pada harga berlaku).
Angka Rasio Gini. Angka Rasio Gini (ketimpangan pendapatan) Lampung dalam lima tahun terakhir cenderung turun yaitu berturut-turut 0.326, 0.331, 0.320, 0.314, dan 0.313. Artinya ketimpangan menyempit.
Angka Kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Lampung dalam lima tahun terakhir cenderung turun yaitu berturut-turut 13.01, 12.30, 12.76, 11.67, dan 11.44.
Indeks Pembangun Manusia. Angka IPM Lampung dalam lima tahun terakhir cenderung naik yaitu berturut-turut 69.02, 69.57, 69.69, 69.90, dan 70.45. Itu artinya terjadi kemajuan di bidang pendidikan, pendapatan, dan kesehatan di Lampung.Â
Empat indikator pembangunan yang lazim dipakai ternyata menunjukkan fakta Lampung mengalami kemajuan sosial-ekknomi dalam lima tahun terakhir.
Lantas kenapa Gubernur Lampung sedemikian resistennya sehingga merespon secara cacat logika, seperti halnya kritik Bimo juga cacat logika?
Ada tiga kemungkinan penyebab -- ini dugaan logis saja -- yang saling jalin satu sama lain. Pertama, Gubernur Lampung memang anti-kritik. Kedua, Gubernur Lampung tidak menguasai data indikator pembangunan di daerahnya. Ketiga, Gubernur Lampung hendak menutupi ketidak-beresan dalam proyek-proyek pembangunan di daerahnya.
Wasanakata
Kritik logis terhadap proses dan hasil pembangunan di Indonesia sebenarnya sangat mudah dilakukan. Sebab ada rencana pembangunan yang jelas, dan ada data statistik hasil pembangunan yang bisa diakses umum.
Karena itu seorang pengritik seperti Bimo sebenarnya bisa mengajukan kritik dengan argumen yang logis dan didukung data memadai.Â
Sayangnya, pemain medsos memang lebih suka mengumbar kata-kata kontroversial dan provokatif, ketimbang mengungkap data empirik. Sebab kata-kata mendulang viewers, sedangkan data mengusir viewers.
Pemerintah, seperti Gubernur Lampung, sebenarnya sangat bisa membungkam Bimo dengan menyodorkan data indikator pembangunan di atas. Sayangnya, Tuan Gubernur agaknya lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan untik membungkam kritik.Â
Gejala di atas, pada pihak pengritik dan yang dikritik, disebut sebagai kemiskinan logika dalam kritik pembangunan. Mungkin maksudnya baik, tapi ujungnya menjadi cacat logika, seperti ditunjukkan di atas. Itu adalah buah dari kemalasan berpikir logis, juga kemalasan dalam mencari dan menganalisis data.Â
Kasus kritik Bimo kini menjadi kontraproduktif bagi Pemda Lampung dan bahkan keluar dari substansi kritik. Kini yang ramai malah sorotan pada nilai kekayaan dan gaya hidup mewah pejabat Lampung. Lalu KPK kini berancang-ancang untuk memeriksa pejabat tertentu.
Jelas itu bukan solusi atas substansi kritik, andai kritik itu mengandung kebenaran. Katakanlah Lampung itu benar "gak maju-maju" (walau sudah ditunjukkan ini tak benar). Maka penangkapan koruptor di lingkungan pemerintah daerah, jika itu misalnya terjadi, tak akan pernah menjadi solusi yang memajukan Lampung. (eFTe).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H