Bimo hanya memiliki data pengamatan skala mikro (desa, kecamatan) yang bersifat sporadis. Semisal jalan rusak, belum diaspal, dan tambal-sulam. Lalu berdasar itu dia mengambil kesimpulan meso, bahwa inrastruktur jalan di Lampung terbatas.Â
Itu penyimpulan secara pars pro toto, generalisasi berlebihan (hasty generalization) berdasar fakta mikro yang bersifat kasuistik dan, karena itu, tak memadai (ad ignorantum). Itu jelas bentuk kemiskinan logika yang bersifat menyesatkan.
Kedua, kelemahan sistem pendidikan. Bimo tidak menunjukkan di mana titik lemah sistem pendidikan di Lampung. Semata hanya mengungkap sistem penerimaan siswa/mahasiswa yang diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Â
Itu jelas bukan kelemahan sistem pendidikan. Melainkan penyimpangan dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Itu dua hal yang berbeda.
Lagi pula sistem pendidikan itu didisain dari pusat. Itu mencakup sejumlah unsur pendidikan yang saling-kait. Antara lain peserta didik, pendidik, interaksi edukatif, kurikulum, metode, dan infrastruktur pendidikan.
Kritik Bimo tidak saja salah sasaran, tapi juga tak menyentuh persoalan dalam sistem pendidikan itu sendiri. Katakanlah, misalnya persoalan sistem atau struktural yang menyebabkan lulusan sekolah/kampus di Lampung bermutu rendah.
Dengan mengupas masalah KKN dalam penerimaan siswa/mahasiswa, Bimo telah terjebak dalam argumen "memedi sawah" atau "manusia jerami" (strawman argument). Dia bukannya bicara kelemahan sistem melainkan penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik.
Ketiga, tata-kelola yang lemah. Bimo menyoroti kelemahan tata-kelola pemerintah daerah (pemda) dengan mengungkap masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi.
Masalahnya, dia tak mengungkap data tingkat korupsi dan inefisiensi di lingkungan birokrasi Pemda Lampung (ad ignorantum).Â
Dia hanya menyampaikan klaim bahwa birokrasi Pemda Lampung sarat korupsi dan inefisiensi. Klaim yang bisa dikenakan terhadap setiap pemda dan bahkan pemerintah pusat.
Sekali lagi, Bimo tak mengungkap kelemahan sistem tata-kelola atau pemerintahan daerah. Tapi justru mengalihkan fokus dengan bicara soal penyimpangan dalam praktek tata-kelola. Khususnya soal korupsi yang menyebabkan inefisiensi (strawman argument).Â