Jika dicermati maka kritik Bimo terhadap Lampung itu, selain cacat logika dan tanpa data memadai, sebenarnya bersifat umum kalau bukan normatif.Â
Itu bisa dikenakan pada Lampung masa Orde Baru sampai masa kini. Juga bisa dikenakan pada semua provinsi di Indonesia dan bahkan pemerintah pusat.Â
Kritik Bimo itu tak lebih dari slogan-slogan unjuk rasa mahasiswa di jalanan. Atau seperti kritik-kritik para politisi oposan di medsos, media daring, dan televisi. Itu semua pernyataan-pernyataan umum yang sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Atau bisa juga diabaikan.
Anehnya, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi justru menampilkan resistensi berlebihan, kalau bukan abnormal, terhadap kritik Bimo. '
Bukannya menanggapi substansi kritik, tapi justru merespon dengan melaporkan Bimo ke polisi dan menegur ayah Bimo sebagai orangtua yang tak bisa mendidik anak.Â
Resistensi gubernur itu jelas cacat logika. Dengan melaporkan Bimo ke polisi atas frasa "dajjal" yang diucapkannya, Gubernur Arinal lewat tim hukumnya terjebak dalam cacat logika "ikan herring merah" (red herring argument). Melemparkan isu ketaksopanan Bimo ke ruang publik, menghindar dari substansi kritik.
Tidak hanya itu. Gubernur juga melakukan ad hominem, menyerang ayah Bimo secara personal, dengan mengatainya tak bisa mendidik anak. Lha, orang yang mengritik itu Bimo, anaknya, kenapa menyerang bapaknya, sih?
Sebenarnya jika Gubernur Arinal berkepala dingin, dia cukup membeber data indikator kemajuan sosial-sosial ekonomi Lampung dalam lima tahun terakhir.
Coba perhatikan angka-angka indikator pembangunan Lampung berikut ini.
Angka PDB per kapita. Angka PDB per kapita Lampung dalam lima tahun terakhir (2018-2022) cenderung meningkat yaitu berturut-turut 39.7, 42.2, 39.3, 40.9 dan 45.1 (dalam juta rupiah pada harga berlaku).
Angka Rasio Gini. Angka Rasio Gini (ketimpangan pendapatan) Lampung dalam lima tahun terakhir cenderung turun yaitu berturut-turut 0.326, 0.331, 0.320, 0.314, dan 0.313. Artinya ketimpangan menyempit.