Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hari Sabtu Petani di Kampungku Libur

18 Maret 2023   10:15 Diperbarui: 18 Maret 2023   15:54 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani kerja membajak sawah (Foto: sepurarsemarang.com)

Petani libur di hari Sabtu?

Ya, begitulah. Itu terjadi di kampungku, Panatapan (pseudonim) dan kampung-kampung sekitarnya di Uluan Tanah Batak sana.

Bukan hal baru. Setahuku hal itu sudah berlangsung sekurangnya sejak 1960-an. Tahun-tahun ketika sebagai anak kecil aku sudah menyadari kehadiran sosialku.

Jadi tidakkah itu luar biasa? Lama sebelum norma lima hari kerja per minggu dipraktekkan di kantor pemerintah dan swasta, ternyata para petani di kampungku sudah menerapkannya.

Artinya, dari segi work-life balance,  petani di kampungku sudah jauh lebih maju dibanding pekerja kota masa kini, bukan?

Demikianlah petani di kampungku dulu bekerja di sawah atau ladang praktis  hanya lima hari dalam seminggu. 

Hari Minggu tak bisa ditawar lagi. Itu hari libur. Bahkan Tuhan libur pada hari itu. Sehingga tak pantas bila umat-Nya bekerja pada hari itu. Wajib kebaktian ke gerejalah, liburan bersama Tuhan. 

Maklum warga kampungku waktu itu semua Katolik. Sedangkan earga kampung tetangga, kalau bukan HKBP dan HKI, ya Pentakosta atau Bethel. Semua Kristiani.

Bagi umat Kristiani bekerja pada hari Minggu adalah dosa. Begitu persepsi imani warga kampungku. Aku sih setuju saja.

Lalu Sabtu. Kenapa pula warga petani di kampungku dan sekitarnya libur hari Sabtu? Kan warga kampungku dan sekitarnya  umat Kristiani. Bukan  umat Parmalim Batak atau Yahudi yang hari sabatnya Sabtu.

Nah, ini perlu sedikit penjelasan.

Hari Sabtu itu adalah hari onan, pasar besar, di Tigaraja, Parapat. Itulah hari transaksi besar, pertukaran antara hasil bumi dari kampung-kampung sekitar Tigaraja dengan hasil industri dari Sumatera Timur. Pada hari itu misalnya beras dijual untuk membeli ikan asin, gula, garam, minyak kelapa, tembakau, dan lain-lain.

Kampungku termasuk salah satu yang orientasi pasarnya ke Onan Tigaraja. Karena itu setiap hari Sabtu, warga kampungku -- terutama kaum ibu dan gadis -- maronan ke sana.

Jadi petani di kampungku membagi hari dalam seminggu untuk tiga kegiatan utama sebagai berikut:

  • Mangula (bekerja): Senin sampai Jumat, kerja fi sawah dan atau ladang/kebun;
  • Maronan (ke pasar): setiap hari Sabtu ke Onan Tigaraja; umumnya perempuan yang pergi maronan, sementara kaum laki (bapak-bapak) istirahat di kedai kopi;
  • Marminggu (ke gereja): setiap hari Minggu, memuliakan Tuhan pada "Hari Libur Tuhan" di gereja.

Begitulah pola kegiatan mingguan warga tani di kampungku sejak mereka mengenal hari Minggu, atau penanggalan Masehi. Sebelumnya orang Batak menggunakan, parhalaan,  penanggalan, Batak yang tak mengenal hari Minggu.

Zending Protestan, lalu Penjajah Belanda, dan kemudian Missi Katoliklah yang memperkenalkan kalender Masehi kepada orang Batak. Seiring berjalannya kristenisasi dan kolonisasi di Tanah Batak.

Jadi pola kegiatan mingguan "mangula - maronan - marminggu" itu jelas adalah pola kegiatan Batak Kristiani. Bukan pola kegiata Batak Parmalim, penganut Ugamo Malim asli Batak, yang waktu ibadahnya hari Sabtu -- disebut Marari Sabtu.

Dengan pola kegiatan semacam itu, warga tani di kampungku selalu berusaha merampungkan pekerjaan di sawah atau ladang pada hari Jumat. Sebab kalau tak tuntas, nanti menjadi beban pikiran di hari Sabtu dan Minggu. Liburan menjadi tak nyaman.

Secara sosial memang tak mungkin juga bekerja di hari Sabtu. Hal itu dianggap sebagai menyimpang. Pasti akan menjadi bahan gunjinga orang sekampung.

Lantas, apa yang dapat dikatakan terkait pola kegiatan mingguan warga tani di kampungku?

Pertama, warga tani di kampungku lebih maju dari warga kota umumnya. Mereka sudah sejak lama bekerja hanya lima hari dalam seminggu.

Kedua, warga tani di kampungku sudah menerapkan prinsip work-life balance sejak lama,  sebelum istilah itu kini populer di lingkungan pekerja kota.

Ketiga,  warga tani di kampungku sejak lama sudah merdeka dari penyakit kerja masa kini, seperti gejala workaholic, toxic productivity, dan quiet quitting.  

Lalu dengan pola hidup semacam itu apakah warga tani di kampungku berbahagia?

Jawabnya: mungkin, atau semoga begitu. Sebab warga di kampungku dulu lebih sering tertawa ketimbang murung sehari-harinya. (eFTe)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun