Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Privilese, Kesadaran Palsu, dan Kemiskinan Sosial pada Kelas Menengah Indonesia

15 Maret 2023   12:22 Diperbarui: 16 Maret 2023   11:00 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Privilese sosial itu adalah hak istimewa yang lekat pada status sosial eksklusif yang disandang individu dalam masyarakat tertentu. Bedakan dengan akses sosial."

Media massa dan media sosial sedang ramai dengan isu privilese sosial (social privilege). Khususnya tentang previlese anak pejabat dan atau privilese anak orang kaya. 

Kaitannya secara khusus dengan kasus Mario, anak seorang pejabat kaya-raya, yang menganiaya David, seorang anak remaja warga biasa, sampai tak sadarkan diri. 

Tapi secara umum juga menyinggung perilaku asosial dari individu-individu elite lainnya. Entah itu di jalan raya, tempat hiburan, dan tempat-tempat lain.

Khusus tentang Mario dikatakan bahwa sebagai anak pejabat kaya raya dia mendapatkan banyak privilese dalam hidupnya. Sejak bayi sampai beranjak dewasa muda. Semisal bisa belajar di sekolah elite, membeli barang-barang mewah, pelesir ke luar negeri, dan memperlakukan orang lain semaunya. 

Sesuatu yang tidak spesifik Mario sebenarnya. Itu sudah menjadi gejala di kalangan "kelas menengah palsu" di Indonesia. Nanti akan dijelaskan soal ini.

Tapi apakah benar hal-hal yang diakses atau dilakukan Mario, juga anak-anak kelas elite lain yang setipe, itu privilese dalam arti sebenarnya?

Saya pikir, tidak. Ada salah kaprah di situ. Orang rupanya telah menyamakan begitu saja privilese dengan akses. Itu dua hal yang berbeda.

Perlu diluruskan dulu salah kaprah itu. Sebelum kemudian melihat kaitannya dengan perilaku antisosial, semisal kekerasan fisik dan verbal pada pihak lain yang dipersepsikan tak punya privilese.

Saya akan tunjukan nanti, perilaku antisosial itu berkait dengan masalah kesadaran palsu (false conciousness) dan kemiskinan sosial di lingkungan kelas elit sosial.

Privilese Melekat pada Status Sosial

Secara sosiologis privilese itu hak istimewa yang lekat pada status sosial eksklusif yang disandang individu. 

Bedakan dengan akses. Sebab akses itu menunjuk pada tingkat jangkauan individu terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan politik (sosekpol).

Privilese memang dapat memudahkan akses seseorang pada hak-hak sosekpol. Tapi itu hanya jika privilese eksplisit menunjuk pada hak tertentu. Semisal pada era kolonial anak-anak Belanda berhak langsung masuk Hogere Burgerschool (HBS), sedangkan anak pribumi tidak.

Pelekatan privilese pada suatu status sosial adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai hasil konsensus atau penetapan oleh suatu otoritas sosial.

Seperti halnya status sosial, secara sosiologis privilese dapat dimiliki seseorang melalui tiga cara.

Pertama, melalui kelahiran (ascribed). Jika seorang anak terlahir sebagai anak bangsawan, maka dia memiliki hak istimewa menggunakan gelar kebangsawanan. Dengan gelar itu, dia punya privilese untuk didahulukan dalam perolehan hak-hak sosekpol.

Kedua, melalui pencapaian (achived). Seseorang berupaya keras sehingga berhasil menjadi bupati di suatu daerah. Sebagai bupati maka dia mendapat sejumlah privilese yang melekat pada jabatan itu. Semisal hak untuk didahulukan dalam akses transportasi.

Ketiga, melalui pemberian (assigned). Privilese yang diberikan suatu otoritas atas dasar kondisi ataupun jasa seseorang. Semisal lansia dan perempuan hamil punya privilese mendapat tempat duduk prioritas di kereta api.

Jika merujuk pada tiga cara memperoleh privilese itu maka, secara sosiologis, Mario dan orang-orang sejenisnya sungguh tak punya privilese apapun. 

Tak ada privilese karena kelahiran, capaian, ataupun pemberian. Dia bukan anak presiden, tak punya prestasi nasional, dan tak punya jasa signifikan bagi masyarakat.

Satu-satunya faktor kelebihannya dibanding warga kebanyakan hanyalah statusnya sebagai anak dari seorang pejabat rendah tapi super-kaya.

Status sebagai anak orang kaya itu tak melekatkan privilese apapun pada Mario. Kecuali bahwa dia bisa membeli apa saja, barang dan jasa, yang mustahil dibeli anak orang miskin.

Tapi itu bukan privilese melainkan akses terhadap kebutuhan sosial-ekonomi. Ada uang ada barang.

Kesadaran Palsu pada Kelas Menengah Semu

Jika Mario dan orang-orang sejenisnya tak punya privilese pada status sosialnya, lantas mengapa mereka seakan punya privilese atau dianggap punya privilese sosial?

Hal itu dapat dijelaskan sebagai privilese semu (pseudo-previlege) berdasar kesadaran palsu (false conciousness) di kalangan kelas menengah semu (ersatz middle class).

Masyarakat Indonesia itu tidak punya kelas menengah sejati seperti dikonsepsikan Marx. Kata Marx kelas menengah, yaitu kaum borjuis pemilik modal, adalah kelas sosial-ekonomi yang memiliki kesadaran kelas (class conciousness). 

Dengan kesadaran kelas dimaksudkan adalah kesadaran tentang posisi, peran, dan kepentingan kelas itu sebagai suatu entitas kekuatan sosial dalam sistem sosial-ekonomi (sosek) tempatnya berada.

Kelas menengah dalam konteks formasi sosial kapitalis era kini, termasuk di Indonesia, bukan lagi kaum borjuis. Tapi suatu kelas sosial-ekonomi baru yang berada di antara kelas penguasa dan rakyat kebanyakan. Mereka terdiri dari pengusaha, profesional, pekerja kantoran, dan elite buruh (pengurus organisasi buruh).

Kelas menengah itu memiliki "ciri kelebihan" dibanding warga kebanyakan. Antara lain berupa penguasaan modal, kesejahteraan tinggi, pendidikan tinggi, kualifikasi profesional, jejaring luas, dan gaya hidup eksklusif.

Tapi untuk konteks Indonesia kelas menengah seperti disebut di atas adalah semu. Mereka tak punya kesadaran kelas melainkan kesadaran palsu.

Dengan kesadaran palsu dimaksudkan adalah persepsi individu, bukan kolektif, tentang posisinya dalam sistem soseknya. Artinya individu itu tak mengenali dirinya sebagai bagian dari satu kelas yang punya kepentingan tersendiri yang harus diperjuangkan dalam sistem sosek.

Sebaliknya, individu kelas menengah semu itu melihat dirinya sebagai entitas tunggal yang bersaing dengan individu-individu lain. Entah itu individu dari kelas yang sama ataupun di bawahnya.

Persaingan itu, sebagaimana terjadi di perkotaan, terlihat sebagai adu hebat lewat pamer kekayaan. Caranya dengan konvoi atau pamer motor dan mobil mewah di jalan umum. Atau pamer rumah, kendaraan, apparel, gadget, liburan, dan hiburan secara daring. Juga dengan cara menjadi anggota berbagai klub elitis yang eksklusif.

Dengan cara-cara pamer itu, individu-individu kelas menengah semu itu sebenarnya sedang menciptakan gaya hidup (life style) dan simbol status (status symbol) bagi dirinya. Gaya hidup dan simbol status kelas menengah menurut persepsinya sendiri-sendiri.

Celakanya, gaya hidup dan simbol status itu mereka paksakan untuk diakui masyarakat kebanyakan. Lalu, atas dasar itu, menuntut privilese. Semisal privilese untuk didahulukan di jalanan saat mereka lewat di jalan raya dengan motor atau mobil mewahnya. Juga untuk didahulukan dalam mengakses layanan publik, fasilitas sosek, dan sebagainya.

Apa yang menurut mereka privilese kelas menengah itu, sejatinya adalah pemaksaan oleh kuasa harta. Karena itu dia bersifat semu, bukan sesuatu yang nyata melekat pada status sosialnya. 

Proses Ajar dan Kemiskinan Sosial

Privilese semu itu, lewat proses ajar, kemudian disosialisasikan orangtua kepada anaknya dalam keluarga-keluarga kelas menengah semu. Juga tersosialisasi lewat pergaulan dengan anak-anak sejenis dalam kelompok-kelompok sekunder (sepermainan).

Lewat proses ajar yang intens privilese semu itu kemudian terinternalisasi dalam diri anak kelas menengah semu. Celakanya, mereka menganggap itu sebagai privilese sejati. Lalu menuntut orang lain untuk mengakui privilese semu itu sebagai kepantasan atau bahkan keharusan.

Tidak boleh ada orang, terutama dari kalangan bawah, yang menolak privilese itu kalau tak ingin merasakan akibatnya. Contohnya kekerasan verbal ataupun fisik individu pengendara mobil mewah kepada pengendara mobil "sejuta umat" di jalanan. Itulah sanksi pribadi individu kelas menengah kepada individu kelas bawah yang dianggap menolak privilesenya.

Proses ajar tadi juga menyebabkan anak kelas menengah semu tumbuh menjadi pribadi yang reifikatif. Pribadi yang mengukur segala sesuatu secara kebendaan. Orang lain hanya eksis baginya sejauh mereka tergolong berada, atau memiliki barang berharga seperti dirinya.

Anak kelas menengah itu juga tumbuh menjadi pribadi dengan rasa kepemilikan yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap haknya. Dia akan mempertahankan miliknya mati-matian, kalau perlu dengan cara menghajar atau bahkan membunuh orang yang dianggap mengganggu kepemilikannya. Ingat ujaran Mario, "Gak takut gue anak orang mati. Mau lapor, lapor an**ng." 

Bisa dikatakan, proses ajar anak kelas menengah semu itu telah menyebabkan dia tumbuh menjadi pribadi yang menderita gejala kemiskinan sosial. Ukurannya adalah minusnya empati sosial terhadap orang lain, terutama warga lapisan bawah. Karena itu secara sosio-psikis dia tak bisa menerima penolakan, menilai orang dari segi kebendaan, dan tega menyakiti orang lain demi mempertahankan hak milik. Atau, dengan kata lain, menjadi antisosial.

Kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan Mario terhadap David adalah contoh ideal dari implikasi privilese semu dan kemiskinan sosial. Mario adalah tipikal anak kelas menengah semu yang tumbuh dengan segala fasilitas dan kemudahan sosek yang kemudian dipersepsikan sebagai privilese. Padahal itu privilese semu, karena senyatanya cuma akses berbasis kekayaan finansil.

Mario tidak sendiri dan David juga. Ada banyak Mario-Mario dan David-David lain di tengah masyarakat kita. Selalu ada orang kaya yang merasa punya privilese dan, karena itu, merasa berhak menghakimi siapa saja yang dianggap menolak privilesenya.

Barangkali kita harus belajar menerima kenyataan itu sebagaimana kita tak kuasa menolak adanya kejahatan di tengah masyarakat. Lihatlah konten-konten ajar anak di medsos para "sultan" dan "crazy rich" muda. Mereka mengajar anaknya untuk menjadi pribadi yang tak pernah berkekurangan, pantang ditolak kemauannya, dan tak peduli pada anak-anak kebanyakan.

Kita hanya bisa berharap agar kelak, bila anak-anak itu sudah besar, dan juga anak-anak dari orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, tidak tumbuh menjadi Mario-Mario baru. Tepatnya tidak berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kaya harta tapi miskin empati, atau kaya secara ekonomi (finansil) tapi miskin secara sosial. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun