Status sebagai anak orang kaya itu tak melekatkan privilese apapun pada Mario. Kecuali bahwa dia bisa membeli apa saja, barang dan jasa, yang mustahil dibeli anak orang miskin.
Tapi itu bukan privilese melainkan akses terhadap kebutuhan sosial-ekonomi. Ada uang ada barang.
Kesadaran Palsu pada Kelas Menengah Semu
Jika Mario dan orang-orang sejenisnya tak punya privilese pada status sosialnya, lantas mengapa mereka seakan punya privilese atau dianggap punya privilese sosial?
Hal itu dapat dijelaskan sebagai privilese semu (pseudo-previlege) berdasar kesadaran palsu (false conciousness) di kalangan kelas menengah semu (ersatz middle class).
Masyarakat Indonesia itu tidak punya kelas menengah sejati seperti dikonsepsikan Marx. Kata Marx kelas menengah, yaitu kaum borjuis pemilik modal, adalah kelas sosial-ekonomi yang memiliki kesadaran kelas (class conciousness).Â
Dengan kesadaran kelas dimaksudkan adalah kesadaran tentang posisi, peran, dan kepentingan kelas itu sebagai suatu entitas kekuatan sosial dalam sistem sosial-ekonomi (sosek) tempatnya berada.
Kelas menengah dalam konteks formasi sosial kapitalis era kini, termasuk di Indonesia, bukan lagi kaum borjuis. Tapi suatu kelas sosial-ekonomi baru yang berada di antara kelas penguasa dan rakyat kebanyakan. Mereka terdiri dari pengusaha, profesional, pekerja kantoran, dan elite buruh (pengurus organisasi buruh).
Kelas menengah itu memiliki "ciri kelebihan" dibanding warga kebanyakan. Antara lain berupa penguasaan modal, kesejahteraan tinggi, pendidikan tinggi, kualifikasi profesional, jejaring luas, dan gaya hidup eksklusif.
Tapi untuk konteks Indonesia kelas menengah seperti disebut di atas adalah semu. Mereka tak punya kesadaran kelas melainkan kesadaran palsu.
Dengan kesadaran palsu dimaksudkan adalah persepsi individu, bukan kolektif, tentang posisinya dalam sistem soseknya. Artinya individu itu tak mengenali dirinya sebagai bagian dari satu kelas yang punya kepentingan tersendiri yang harus diperjuangkan dalam sistem sosek.
Sebaliknya, individu kelas menengah semu itu melihat dirinya sebagai entitas tunggal yang bersaing dengan individu-individu lain. Entah itu individu dari kelas yang sama ataupun di bawahnya.