Persaingan itu, sebagaimana terjadi di perkotaan, terlihat sebagai adu hebat lewat pamer kekayaan. Caranya dengan konvoi atau pamer motor dan mobil mewah di jalan umum. Atau pamer rumah, kendaraan, apparel, gadget, liburan, dan hiburan secara daring. Juga dengan cara menjadi anggota berbagai klub elitis yang eksklusif.
Dengan cara-cara pamer itu, individu-individu kelas menengah semu itu sebenarnya sedang menciptakan gaya hidup (life style) dan simbol status (status symbol) bagi dirinya. Gaya hidup dan simbol status kelas menengah menurut persepsinya sendiri-sendiri.
Celakanya, gaya hidup dan simbol status itu mereka paksakan untuk diakui masyarakat kebanyakan. Lalu, atas dasar itu, menuntut privilese. Semisal privilese untuk didahulukan di jalanan saat mereka lewat di jalan raya dengan motor atau mobil mewahnya. Juga untuk didahulukan dalam mengakses layanan publik, fasilitas sosek, dan sebagainya.
Apa yang menurut mereka privilese kelas menengah itu, sejatinya adalah pemaksaan oleh kuasa harta. Karena itu dia bersifat semu, bukan sesuatu yang nyata melekat pada status sosialnya.Â
Proses Ajar dan Kemiskinan Sosial
Privilese semu itu, lewat proses ajar, kemudian disosialisasikan orangtua kepada anaknya dalam keluarga-keluarga kelas menengah semu. Juga tersosialisasi lewat pergaulan dengan anak-anak sejenis dalam kelompok-kelompok sekunder (sepermainan).
Lewat proses ajar yang intens privilese semu itu kemudian terinternalisasi dalam diri anak kelas menengah semu. Celakanya, mereka menganggap itu sebagai privilese sejati. Lalu menuntut orang lain untuk mengakui privilese semu itu sebagai kepantasan atau bahkan keharusan.
Tidak boleh ada orang, terutama dari kalangan bawah, yang menolak privilese itu kalau tak ingin merasakan akibatnya. Contohnya kekerasan verbal ataupun fisik individu pengendara mobil mewah kepada pengendara mobil "sejuta umat" di jalanan. Itulah sanksi pribadi individu kelas menengah kepada individu kelas bawah yang dianggap menolak privilesenya.
Proses ajar tadi juga menyebabkan anak kelas menengah semu tumbuh menjadi pribadi yang reifikatif. Pribadi yang mengukur segala sesuatu secara kebendaan. Orang lain hanya eksis baginya sejauh mereka tergolong berada, atau memiliki barang berharga seperti dirinya.
Anak kelas menengah itu juga tumbuh menjadi pribadi dengan rasa kepemilikan yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap haknya. Dia akan mempertahankan miliknya mati-matian, kalau perlu dengan cara menghajar atau bahkan membunuh orang yang dianggap mengganggu kepemilikannya. Ingat ujaran Mario, "Gak takut gue anak orang mati. Mau lapor, lapor an**ng."Â
Bisa dikatakan, proses ajar anak kelas menengah semu itu telah menyebabkan dia tumbuh menjadi pribadi yang menderita gejala kemiskinan sosial. Ukurannya adalah minusnya empati sosial terhadap orang lain, terutama warga lapisan bawah. Karena itu secara sosio-psikis dia tak bisa menerima penolakan, menilai orang dari segi kebendaan, dan tega menyakiti orang lain demi mempertahankan hak milik. Atau, dengan kata lain, menjadi antisosial.
Kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan Mario terhadap David adalah contoh ideal dari implikasi privilese semu dan kemiskinan sosial. Mario adalah tipikal anak kelas menengah semu yang tumbuh dengan segala fasilitas dan kemudahan sosek yang kemudian dipersepsikan sebagai privilese. Padahal itu privilese semu, karena senyatanya cuma akses berbasis kekayaan finansil.