Masuk sekolah pukul 05.00 WITA pagi untuk membentuk etos kerja.
Itu motif kebijakan terbaru Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor B. Laiskodat. Diberlakukan untuk jenjang SMA/SMK di NTT. Sementara ini uji-coba terbatas di Kupang dulu.
Jidatku berkerut hebat saat membaca motif di balik kebijakan itu. Apakah  hubungan kausatif antara fakta masuk sekolah pukul 05.00 pagi dengan fakta etos kerja?
Lalu apa pula yang dimaksud Pak Gubernur Viktor dengan etos kerja? Juga, apakah dia tahu macam apa etos kerja orang NTT?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab oleh argumen-argumen pembelaaan diri Pak Gubernur, juga Pak Kadisdikbud NTT, yang tersebar di media massa dan medsos.
Jadi saya coba cari sendiri jawabannya. Itupun terbatas dari sudut pandang sosiologi.
***
Saya mulai dengan konsep etos kerja, ya.
Ini satu kutipan dari merriem-webster.com tentang etos kerja (work ethic):
"A belief in work as a moral good : a set of values centered on the importance of doing work and reflected especially in a desire or determination to work hard."
Suatu keyakinan tentang kerja sebagai kebaikan moral: seperangkat nilai yang mengukuhkan  pentingnya bekerja, dicerminkan oleh hasrat atau tekad  untuk bekerja keras.
Intinya, jika bicara tentang etos kerja maka bicara tentang seperangkat nilai dasar yang mendasari tindakan kerja.
Untuk memahami itu, perlu merujuk teori Max Weber tentang "etika protestan dan semangat kapitalisme" (Lihat: Â The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, New York and Oxford: Oxford University Press, 2011).
Etika Protestan, menurut Weber,  adalah suatu nilai dasar dalam Injil yang menyatakan keberhasilan duniawi adalah pertanda keselamatan abadi (surgawi). Penganut Protestan Calvinis kemudian bekerja keras mencapai keberhasilan ekonomi, sebagai jaminan bagi mereka untuk  kelak diterima masuk surga. Caranya, karunia sumberdaya dari Tuhan mesti dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin sehingga memberikan hasil berlipat ganda.
Rujukannya adalah Injil Matius (25: 14-30). Seorang tuan yang bepergian jauh mempercayakan hartanya kepada tiga orang hambanya.  Hamba pertama mendapat 5 talenta, yang kedua 2 talenta, dan yang ketiga 1 talenta.  Saat tuan itu kembali ke rumah, hamba pertama dan kedua melaporkan talentanya  masing-masing sudah dikembangkan menjadi lipat dua. Karena itu mereka berhak masuk ke dalam "rumah kebahagiaan".  Sementara hamba ketiga tidak mengembangkan talentanya, sehingga upahnya adalah masuk ke "rumah penderritaan". Â
Kata Weber etika Protestan itu menjadi faktor pemicu sukses ekonomi di kalangan umat Protestan Calvinis pada tahap awal kapitalisme di Eropa. Â Kesimpulan Weber ini kemudian menjadi salah satu tesis pokok dalam teori modernisasi, teori yang mendasari proses-proses pembangunan di Indonesia. Â
Dikatakan, agar perekonomian bangsa Indonesia maju, maka orang Indonesia harus punya etos kerja yang kuat.  Hal itu semacam anti-tesis untuk anggapan bahwa orang Melayu, termasuk Indonesia, itu malas. Kendati itu  sebuah anggapan sesat yang dinarasikan pemerintah kolonial sebagai justifikasi untuk tindakan represif dan ekstraktif.
Sampai di sini, Â cukup jelas, ya. Â Bicara etos kerja berarti bicara tentang nilai pokok yang mendasari tindakan kerja manusia. Â Kita catat dulu itu.
***
Sekarang tentang etos kerja orang (manusia) NTT.
Ini perlu dibuat jelas.  Sebab klaim "masuk sekolah pukul lima pagi untuk membentuk etos kerja" itu  bermakna "manusia NTT tak punya etos kerja".  Karena itu perlu dibentuk lewat proses-proses persekolahan.
Saya harus katakan, itu tak benar.
Suatu studi khusus tentang etos kerja orang NTT sudah pernah dilakukan Prof. Mubyarto dan kawan-kawan, satu tim riset dari UGM, tahun 1991.  Riset tersebut merujuk pada konsepsietos kerja menurut  Weber.  Laporan hasil riset itu diterbitkan dengan judul  Etos Kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991).
Riset Prof. Mubyarto dan kawan-kawan menyimpulkan etos kerja orang NTT, sebagaimana terungkap pada empat kasus etnis itu (Sumba, Rote, Sabu, Timor) tergolong tinggi. Kendati  ada indikasi etos kerja orang Sabu dan Rote sedikit lebih tinndi dibanding orang Sumba dan Timor.
Etos kerja, dalam arti nilai dasar yang menjadi  semangat kerja, orang NTT dibentuk oleh tiga kekuatan yaitu adat (termasuk agama asli),  agama Kristiani, dan negara (pemerintah).  Antara ketiganya dapat terjadi sinergi, tapi bisa juga konflik.
Adat, agama, dan negara telah menanamkan nilai kerja keras pada orang NTT. Â Hal itu berangkat dari fakta karunia sumberdaya tanah, air, dan iklim yang mereka dapatkan sangat terbatas. Â Tanah gersang, air terbatas, dan iklim kering yang panjang.Â
Adat orang NTT, semisal religi Marapu (Sumba), menekankan manusia NTT harus kerja keras untuk menghidupi keluarga dan bersyukur (menghormati) leluhur. Â
Kata orang Sumba tentang kerja keras, "ka ningu palumungu wangu palumungu, ka ningu panggumangu wangu panggumanu" -- agar ada untuk melayani yang harus dilayani dan agar ada untuk mengabdi yang diabdi.
Jika ada warga yang tidak kerja keras, sesuai langgam setempat, maka dia dapat saja kena sanksi adat. Â Hal itu misalnya diterapkan orang Rote dalam bentuk sanksi lalaa, komunitas tani sehamparan dalam masyarakat Rote.
Orang Timor menerjemahkan kerja keras itu sebagai "tidak ada waktu tanpa kerja". Â Hal itu mengingat miskinnya sumberdaya alam Timor. Â Sehingga tidak ada jalan lain untuk hidup, kecuali kerja tak kenal waktu.
Orang Sabu percaya, sekalipun alamnya keras, tapi jika ada ikhtiar kerja keras, maka alam semisal pohon lontar akan memberi cukup makanan. Â Karena itu dalam bahasa Sabu tidak ada kosa kata "lapar" dan "kelaparan".
Gejala serupa juga ditemukan Prof. Sajogyo dan tim risetnya di Ende. Â Saya termasuk anggota tim yang meriset orang Ende.
Menggunakan konsep "energi sosial-budaya kreatif" -- dikenal juga sebagai "modal sosial" -- hasil riset mengungkap bahwa keterbatasan sumberdaya alam telah menempa orang Ende menjadi petani yang pantang menyerah pada alam. Â Orang Ende punya etos kerja "kema ngere ata hoo ka ngere raja", kerja bagaikan hamba makan bagaikan raja. (Lihat Bab III dalam: Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994).
Lepas dari konflik antara adat dan agama Kristiani terkait eksitensi Yang Ilahi (Tuhan), dua kekuatan itu ternyata menanamkan etos kerja yang sama pada orang NTT. Â
Gereja Kristiani juga menekankan arti penting bersyukur atas karunia sumberdaya (talenta) dari Tuhan, dengan cara bekerja keras mengolahnya sehingga memberi hasil yang berlipat-ganda. Â Hasil itu, selain untuk menghidupi keluarga secara layak, juga dipersembahkan kepada Tuhan sebagai wujud rasa syukur.
Negara kemudian datang memfasilitasi etos kerja orang NTT lewat kegiatan pembangunan. Â Pengenalan teknologi pertanian baru, pembangunan jaringan transportasi, pengembangan fasilitas kesehatan dan pendidikan, semua itu mendukung artikulasi etos kerja orang NTT.Â
Hasil etos kerja yang tinggi itu, produktivitas orang NTT cenderung naik. Tingkat kemiskinan juga cenderung menurun, walau dalam 50 tahun terakhir NTT Â setia menghuni kelompok 5 propinsi termiskin di Indonesia.
Jelas bahwa orang NTT sudah memiliki etos kerja keras sejak dahulu kala. Â Etos itu terbentuk sebagai respon adat terhadap alam tandus NTT. Â Lalu semakin dikukuhkan oleh ajaran agama Kristen. Â Serta difasilitasi dan dikembangkan oleh negara melalui program-program pembangunan atau modernisasi.
***
Lantas apa yang harus dikatakan tentang klaim Gubernur dan Kadisdikbud NTT tentang pembentukan etos kerja melalui kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi?
Paparan di muka sudah menunjukan etos kerja orang NTT pertama-tama dibentuk adat, sebagai respon terhadap kemiskinan sumber-sumber alam. Â Etos itu lalu dikukuhkan agama Kristiani dan difasilitasi negara.
Sebelum negara masuk, etos kerja sudah ditanamkan oleh adat dan agama terhadap manusia NTT sejak anak-anak. Â Hal itu dilakukan dengan memberi tanggung-jawab kerja produksi dan reproduksi tertentu pada anak-anak.
Negara yang hadir dalam bentuk pemerintah daerah kemudian memfasilitasi etos kerja itu melalui pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai bidang. Â Salah satunya pembangunan di bidang pendidikan.
Etos kerja tentu saja dapat dibangun melalui proses-proses pendidikan formal di sekolah. Tapi hal itu dilakukan melalui penerapan kurikulum yang relevan, pengajar yang bermutu, metode ajar yang demokratis, dan fasilitas belajar-mengajar yang lengkap.Â
Tak ada logikanya membentuk etos kerja melalui percepatan jam masuk sekolah. Â Tak ada bukti empiris bahwa etos kerja murid yang masuk sekolah pukul 05.00 pagi lebih tinggi dibanding murid yang masuk sekolah pukul 07.00 pagi. Â
Murid di Finlandia masuk seolah pukul 09.00 pagi.  Apakah etos kerja murid Finlandia lebih rendah dibanding  murid Indonesia atau NTT khususnya?
Sekolah itu adalah wahana pesemaian logika. Karena itu sebaiknya pemerintah janganlah menerapkan suatu kebijakan yang tak logis di lingkungan sekolah. Â Salah-salah, sekolah akan menghasilkan lulusan-lulusan yang mengidap penyakit "sesat pikir" (logical fallacy).
Untuk  Pemda Provinsi NTT, khususnya Pak Gubernur, ketimbang mengurusi jam masuk sekolah, lebih baik jika fokus pada dua hal berikut ini.Â
Pertama, mengatasi masalah pengerdilan (stunting) di NTT. Â Data tahun 2022 menunjukkan 35.3% anak balita di NTT terindikasi mengalami gejala pengerdilan. Ini angka tertinggi di Indonesia. Anak-anak kerdil ini, karena kekuarang asupan pangan dan gizi, kelak setelah dewasa akan tumbuh menjadi orang dengan etos kerja rendah. Sekalipun Pak Gubernur menyuruh mereka masuk sekolah pukul 03.00 pagi.
Kedua, menerima secara kritis untuk kemudian menerapkan Kurikulum Merdeka yang digagas Kemendikbudristek mulai dari tingkat TK sampai SLTA. Walau ada kelemahannya, yaitu perlu penyesuaian kreatif dengan konteks sosial, ekonomi, dan budaya lokal, Kurikulum Merdeka itu cocok diterapkan untuk membentuk  etos kerja tinggi pada murid.  Antara lain bisa membantu membentuk murid yang kreatif, mandiri, dan kolaboratif -- tiga penciri manusia dengan etos kerja tinggi.
Pada akhirnya hendak dikatakan di sini agar Pemda tak membuat kebijakan publik berdasar asumsi-asumsi, angan-angan, dan selera pribadi. Itu namanya kebijakan spekulatif. Tolong jangan menjadikan masyarakat sebagai obyek spekulasi. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H