Saya harus katakan, itu tak benar.
Suatu studi khusus tentang etos kerja orang NTT sudah pernah dilakukan Prof. Mubyarto dan kawan-kawan, satu tim riset dari UGM, tahun 1991.  Riset tersebut merujuk pada konsepsietos kerja menurut  Weber.  Laporan hasil riset itu diterbitkan dengan judul  Etos Kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991).
Riset Prof. Mubyarto dan kawan-kawan menyimpulkan etos kerja orang NTT, sebagaimana terungkap pada empat kasus etnis itu (Sumba, Rote, Sabu, Timor) tergolong tinggi. Kendati  ada indikasi etos kerja orang Sabu dan Rote sedikit lebih tinndi dibanding orang Sumba dan Timor.
Etos kerja, dalam arti nilai dasar yang menjadi  semangat kerja, orang NTT dibentuk oleh tiga kekuatan yaitu adat (termasuk agama asli),  agama Kristiani, dan negara (pemerintah).  Antara ketiganya dapat terjadi sinergi, tapi bisa juga konflik.
Adat, agama, dan negara telah menanamkan nilai kerja keras pada orang NTT. Â Hal itu berangkat dari fakta karunia sumberdaya tanah, air, dan iklim yang mereka dapatkan sangat terbatas. Â Tanah gersang, air terbatas, dan iklim kering yang panjang.Â
Adat orang NTT, semisal religi Marapu (Sumba), menekankan manusia NTT harus kerja keras untuk menghidupi keluarga dan bersyukur (menghormati) leluhur. Â
Kata orang Sumba tentang kerja keras, "ka ningu palumungu wangu palumungu, ka ningu panggumangu wangu panggumanu" -- agar ada untuk melayani yang harus dilayani dan agar ada untuk mengabdi yang diabdi.
Jika ada warga yang tidak kerja keras, sesuai langgam setempat, maka dia dapat saja kena sanksi adat. Â Hal itu misalnya diterapkan orang Rote dalam bentuk sanksi lalaa, komunitas tani sehamparan dalam masyarakat Rote.
Orang Timor menerjemahkan kerja keras itu sebagai "tidak ada waktu tanpa kerja". Â Hal itu mengingat miskinnya sumberdaya alam Timor. Â Sehingga tidak ada jalan lain untuk hidup, kecuali kerja tak kenal waktu.
Orang Sabu percaya, sekalipun alamnya keras, tapi jika ada ikhtiar kerja keras, maka alam semisal pohon lontar akan memberi cukup makanan. Â Karena itu dalam bahasa Sabu tidak ada kosa kata "lapar" dan "kelaparan".
Gejala serupa juga ditemukan Prof. Sajogyo dan tim risetnya di Ende. Â Saya termasuk anggota tim yang meriset orang Ende.