Etos kerja tentu saja dapat dibangun melalui proses-proses pendidikan formal di sekolah. Tapi hal itu dilakukan melalui penerapan kurikulum yang relevan, pengajar yang bermutu, metode ajar yang demokratis, dan fasilitas belajar-mengajar yang lengkap.Â
Tak ada logikanya membentuk etos kerja melalui percepatan jam masuk sekolah. Â Tak ada bukti empiris bahwa etos kerja murid yang masuk sekolah pukul 05.00 pagi lebih tinggi dibanding murid yang masuk sekolah pukul 07.00 pagi. Â
Murid di Finlandia masuk seolah pukul 09.00 pagi.  Apakah etos kerja murid Finlandia lebih rendah dibanding  murid Indonesia atau NTT khususnya?
Sekolah itu adalah wahana pesemaian logika. Karena itu sebaiknya pemerintah janganlah menerapkan suatu kebijakan yang tak logis di lingkungan sekolah. Â Salah-salah, sekolah akan menghasilkan lulusan-lulusan yang mengidap penyakit "sesat pikir" (logical fallacy).
Untuk  Pemda Provinsi NTT, khususnya Pak Gubernur, ketimbang mengurusi jam masuk sekolah, lebih baik jika fokus pada dua hal berikut ini.Â
Pertama, mengatasi masalah pengerdilan (stunting) di NTT. Â Data tahun 2022 menunjukkan 35.3% anak balita di NTT terindikasi mengalami gejala pengerdilan. Ini angka tertinggi di Indonesia. Anak-anak kerdil ini, karena kekuarang asupan pangan dan gizi, kelak setelah dewasa akan tumbuh menjadi orang dengan etos kerja rendah. Sekalipun Pak Gubernur menyuruh mereka masuk sekolah pukul 03.00 pagi.
Kedua, menerima secara kritis untuk kemudian menerapkan Kurikulum Merdeka yang digagas Kemendikbudristek mulai dari tingkat TK sampai SLTA. Walau ada kelemahannya, yaitu perlu penyesuaian kreatif dengan konteks sosial, ekonomi, dan budaya lokal, Kurikulum Merdeka itu cocok diterapkan untuk membentuk  etos kerja tinggi pada murid.  Antara lain bisa membantu membentuk murid yang kreatif, mandiri, dan kolaboratif -- tiga penciri manusia dengan etos kerja tinggi.
Pada akhirnya hendak dikatakan di sini agar Pemda tak membuat kebijakan publik berdasar asumsi-asumsi, angan-angan, dan selera pribadi. Itu namanya kebijakan spekulatif. Tolong jangan menjadikan masyarakat sebagai obyek spekulasi. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H