Yang jelas, dia tampak santai. Dan menikmati dirinya seperti itu.
Lelaki yang duduk di samping kananku terlelap. Kepalanya menjauh dari kepalaku. Harus begitu. Â Sebab aku bukan muhrimnya.
Sedangkan lelaki yang duduk di samping kanannya, di ujung lain bangku, terserap oleh layar ponselnya.
Begitulah suasana gerbongku.
Senyap di balik masker masing-masing. Entah itu tenggelam dalam tidurnya. Atau terserap ke dalam layar ponselnya.
Aku pikir, gerbong kereta api komuter itu telah berubah menjadi ruang pengasingan. Setiap orang hadir di situ sendiri, tanpa melihat kehadiran orang lain. Entah dia tidur, atau terpaku ke layar ponsel.
Gerbong kereta bukan lagi ruang sosial, seperti di era komuter lama. Saat gerbong kereta masih menjadi arena transaksi dagang, panggung pengamen, relung copet. dan tempat diskusi antar penumpang dalam grup-grup kecil.
Kini, atau setidaknya saat itu, gerbong kereta komuter telah menjadi arena individualisme.
Persis seperti gerbong -gerbong kereta di negara-negara kapitalis maju.
Ah, bukankah negara kita juga sudah dilabel "orang luar" sebagai kapitalis maju?