Tak lama menanti di peron. Â Pukul 06.48 WIB kereta tiba. Tepat waktu.
Istriku dan kedua anak gadis kami memilih duduk di gerbong wanita, paling depan. Mereka lebih nyaman berada di antara kaumnya.
Atau, bagi perempuan, ada baiknya terkadang bebas dari mahluk lelaki. Itu semacam relung healing. Semacam resiliensi psikis. Agar tegar lagi menghadapi bebalnya laki-laki.
Aku menyisih ke gerbong kedua, gerbong campuran.Â
Penumpang tak ramai. Aku masih dapat tempat duduk. Di bangku untuk tiga orang. Di sampingku ada dua lelaki asing.
[3]
Sendiri, pisah gerbong dari istri dan anak.
Aku jadi punya waktu mengamati ekologi gerbong saat itu.Â
Dua lelaki di bangku seberang duduk berjarak, ujung ke ujung bangku. Keduanya tertidur dengan posisi tubuh dan kepala ke arah saling menjauh. Persis komposisi tidur pasutri yang sedang bertengkar.Â
Tapi itu memang komposisi tidur terbaik bagi dua lelaki. Entah mereka saling kenal atau tidak. Sebab bila mereka tidur berpelukan, apa nanti kata kondektur kereta.
Adapun kondektur itu, dia sedang berdiri di pojok kanan belakang gerbong. Asyik mengamati layar ponselnya. Entah pesan apa yang disimaknya di situ.