Tapi Miramar tidak. Dia semayam di anganku. Terbawa terus. Ke manapun aku pergi.
Selepas lulus sarjana, lalu bekerja, aku sudah berkelana ke berbagai kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Makan di berbagai restoran Padang. Termasuk di kota Padang.
Tapi tak satupun dari banyak pengalaman makan itu menghapus anganku pada Miramar.Â
Dalam benakku sudah terpatri sebuah citra. Tak ada santapan yang nikmat kecuali hidangan Miramar.
Desember 2004. Tigapuluh tahun dari 1974. Pada suatu pagi yang cerah.
Derum taksi Kingswood tua memenuhi udara jalan raya Medan-Siantar. Menyelusup ke jalur-jalur kosong di antara baris-baris pohon karet dan kelapa sawit di koridor kiri dan kanan jalan raya.Â
Aku, istriku, dan anak perempuan kami, masih balita, duduk nyaman di jok belakang.Â
Kami sedang pulang ke kampung halaman, Toba. Turun dari pesawat di Polonia, langsung naik taksi bandara ke pool taksi antar kota di Teladan.Â
Perjalanan ke Toba akan makan waktu empat jam. Lewat Tebingtinggi, Siantar, dan Parapat.
"Kita makan siang di mana?" tanya istriku. Taksi sudah melewati Sinaksak, gerbang utara kota Siantar.
"Di Siantar. Di Miramar. Restoran Padang terenak seindonesia," jawabku.