Aku memang sedih. Sebab cita-citaku kandas sudah. Â Gagal menjadi pastor, maka gagal ditraktir umat di Miramar.
Tapi ucapan pastor rektor itu masuk di akalku juga. Bayangkan kalau semua lelaki Katolik menjadi pastor. Pastilah umat Katolik seluruhnya perempuan. Â
Lalu kutinggalkan Siantar. Pulang ke Toba, kampung halaman. Melanjut ke sebuah SMA kampung. Â Tiga tahun, lulus.
Tembak langsung ke kota Bogor. Kuliah di sebuah institut pertanian. Empat tahun, lulus.
Sekolahku memang lancar. Dari SD sampai perguruan tinggi tak pernah tinggal kelas. Tak sekalipun.Â
Itu bukan karena aku sangat cerdas. Bukan. Tapi karena aku tak pernah berpikir tinggal kelas itu ada gunanya.
Apa guna mengulang perjuangan satu tahun lagi hanya demi meraih satu hal yang sama? Bagiku itu buang-buang umur. Â
Aku hanya setuju pada satu jenis kegagalan dalam hidup. Memutus atau diputus pacar. Sebab itu kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik, bukan?
Selebihnya, aku tak bisa terima dalam hidupku. Terlebih jika itu kegagalan bersantap di Miramar.
Ah, kau, Miramar.Â
Sudah begitu lama kutinggalkan Siantar. Segala yang ada di sana.Â