Baligeraja, kemudian disebut Balige, didiami oleh keturunan Sorimangaraja -- salah seorang leluhur Batak yang menjad pendeta-raja Baligeraja -- dari istri ketiganya yaitu Naisuanon (Sorbadibanua).
Naisuanon menurunkan Sibagotnipohan, Sipaettua, dan Silahisabungan. Secara khusus, Sibagotnipohan menurunkan Tampubolon, Silaen, Baringbing, Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, Simangunsong, Marpaung, dan Napitupulu (Pardede). Â
Turunan Sibagotnipohan itu kemudian menjadi marga-marga raja yang mendiami kawasan Balige. Â Hal itu tercermin juga dari nama sejumlah kelurahan/desa yang merujuk marga tertentu. Â Semisal Napitupulu Bagasan, Pardede Onan, Sianipar Sihail-hail, dan Hutagaol Peatalun.
Pusat Ekonomi Tanah Batak
Semasa Perang Batak (1878-1907), Balige menjadi sasaran pertama Belanda untuk ditaklukkan. Â
Kota itu berhasil dikuasai setelah perlawanan Pendeta-raja Batak Sisingamangaraja XII  dipatahkan tahun 1907. Balige lalu dijadikan  ibukota Onderafdeling Toba, di bawah Afdeling Bataklanden.Â
Berada di jantung Tanah Batak,  di bibir pantai selatan  Danau Toba, Belanda segera melihat nilai strategis Balige secara politik dan ekonomi.  Dari kota itu mobilisasi militer, orang,  dan barang ke seluruh penjuru Tanah Batak akan menjadi lebih efisien. Baik melalui jalur darat maupun perairan danau.Â
Karena itu Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan Balige sebagai pusat ekonomi Tanah Batak. Â Isolasi geografisnya dibuka dengan membangun jalan raya yang menghubungkan Balige dengan Parapat/Medan di utara dan Tarutung/Sibolga di selatan (1917-1920). Â
Bertepatan dengan Depresi Besar awal 1930-an, industri tenun (tekstil) dikembangkan di Balige. Â Tujuannya untuk produksi tekstil murah untuk Sumatera.
Lalu  pada tahun 1936 dibangun pasar Onan Balige,  dicirikan oleh 6 balairung berarsitektur rumah adat Batak, sebagai pusat transaksi ekonomi terbesar di Toba.