Seorang teman berdalih, saat aku mengingatkan soal ini. "Tak apalah," katanya, "yang penting kita tahu kita sudah saling paham dan tetap kompak."
Masalahnya, bagaimana kita bisa yakin bahwa "kita saling paham dan tetap kompak"? Kan, takada komunikasi. Hanya ada ucapan-ucapan searah yang memborbardir dinding WAG.
Setiap orang hanya mengucapkan selamat, tanpa pernah membalas ucapan temannya. Tak ada ucapan "Terimakasih, ci Lin/ko Tan. Selamat Imlek juga ... (bla bla bla)."
Bukankah Imlek seharusnya menjadi perisiwa komunikasi? Sebuah interaksi sosial yang sarat makna?
Tapi begini. Era WAG mungkin adalah kritik pada teori tindakan komunikatif Habermas. Bahwa kesepahaman tak mesti mempersyaratkan komunikasi. Sebab mungkin saja ada kesepahaman tanpa dasar komunikasi.
WAG itu bukti empiriknya. Bukankah anggota WAG adalah orang-orang yang sepaham -- apa pun subyek kesepahaman itu? Sebab kalau tak sepaham, kan bisa terjadi selisih paham, lalu solusinya left.
Kalau begitu, ujaran-ujaran yang bersiliweran di WAG bukan wujud komunikasi, dong. Â Cuma lalu-lintas kata, frasa, dan kalimat saja. Tanpa intensi menuju kesepahaman.
Barangkali memang demikian. Sebab kesepahaman apa pula yang bisa diperoleh dari WAG yang dipenuhi emotikon dan stiker?
Tapi aku masih bertanya-tanya.
Jika WAG adalah kelompok orang sepaham, lantas dengan cara bagaimana mereka tiba pada kesepahaman itu tanpa komunikasi?
Ah, berharap ada ahli komunikasi yang bisa menjelaskannya.Â