Saat menyaksikan itu semua, justru kesan damai dan indah yang terasakan. Â
Saya berpikir, arwah-arwah orang Toraja itu telah "disempurnakan" di suatu lokus yang hening, di antara bumi manusia dan surga Sang Pencipta.
Tidak seperti pekuburan lazimnya, jasad orang mati di Toraja tak dikubur dalam tanah. Tapi ditempatkan di atas tanah pada tebing-tebing tinggi.
Makam orang mati ditinggikan di atas orang hidup, sebagai simbol bahwa orang mati berada di antara bumi dan langit.Â
Peninggian makam atau jasad seperti itu ada kaitannya dengan kosmologi atau religi orang Toraja.
Dalam religi asli orang Toraja, Aluk To Dolo, manusia di bumi diturunkan oleh Puang Matua, Sang Pencipta dari langit, dunia para dewata. Sampai waktu yang lama, dunia langit dan dunia tanah dihubungkan oleh sebuah eran di langi, tangga langit. Dewata dan manusia terhubung erat lewat tangga itu.
Bila manusia Toraja mati, maka arwahnya akan kembali ke langit, ke tempat asalnya, lewat tangga itu.Â
Tapi kemudian seorang manusia melakukan dosa pertama -- yaitu mengawinkan sepasang putra-putri  kembarnya. Puang Matua murka lalu menghancurkan tangga langit itu.
Sejak itu relasi intim manusia Toraja dan Puang Matua terputus. Arwah orang Toraja, bila mati, tidak bisa lagi langsung naik lewat tangga ke langit.Â
Para arwah itu harus berkumpul dulu di puya, suatu tempat di antara bumi manusia dan langit Dewata. Di situ mereka menanti kesempatan pulang ke langit, lewat bantuan To Manurun, manusia langit utusan Puang Matua. Â