Sebagai contoh, rapat-rapat daring bisa dilakukan pada pukul berapa saja, siang dan malam, dengan durasi lepas. Bahkan bisa terjadi rapat beruntun sepanjang hari. Sehingga tak ada lagi waktu khusus untuk reproduksi yang layak semisal mandi, makan, bermain dengan anak, dan istirahat.
Perintah kerja dari atasan atau kepada bawahan juga bisa tetjadi pukul berapa saja dan harus segera dieksekusi. Dan itu bisa berarti mengokupasi ruang dan waktu reproduksi.
Konflik antara pemangku kegiatan produksi dan pemangku reproduksi bisa tersulut. Istri, jika dia pemangku reproduksi, bisa singit pada suami yang dinilai menginvasi domein domestik miliknya. Istri kehilangan kedaulatan penuh di ruang domestik.
Untuk pertama kalinya, karena WFH, orang mengalami burn out di dalam rumah. Tak lain karena tekanan penjajahan kegiatan produksi ke dalam rumah. Itu membuat pekerja kesulitan mengatur keseimbangan antara kerja dan pemeliharaan diri.
Terjadilah gejala aneh. Orang keluar dari rumah, masuk ke ruang publik, bukan untuk bekerja (produksi) tapi untuk rekreasi atau penyegaran diri (reproduksi).Â
Stres akibat hantaman kegiatan publik terhadap hak reproduksi di satu ruang yang sama, yaitu ruang domestik, telah mengubah persepsi dan praksis ruang publik. Ruang publik dilihat sebagai ruang untuk alokasi waktu reproduksi, semacam rekreasi, keluar dari "kesumpekan rumah".
Atau, ekstrimnya, "merdeka dari rumah".
Rumah, atau ruang domestik, dengan begitu menjadi tidak sehat. Sakralitasnya sebagai ruang pemulihan diri telah dinodai kegiatan publik atau produksi.Â
***
Mudah-mudahan paparan di atas cukup jelas. Tidak bikin bingung lalu pusing.
Intinya, hendak dikatakan bahwa pola WFH itu dalam praksisnya menyebabkan ketak-sehatan sosiologis dan psikologis. Orang tak bisa lagi membuat perimbangan antara "kerja untuk modal" dan "kegiatan pemulihan/pemeliharaan diri".Â