Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Antara WFH dan WFO, Perubahan Persepsi dan Praksis Ruang dan Waktu

26 Januari 2023   05:13 Diperbarui: 26 Januari 2023   07:23 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hybrid working (Sumber gambar dari Kompas.com)

Pola-pola work from home (WFH) dan work from office (WFO) atau paduannya (hybrid) bukanlah hal baru di dunia kerja.

Sejak sebelum pandemi Covid-19 (2020-2022), dunia kerja sudah menerapkannya. Kendati sifatnya terbatas, atau kondisional.

Contohnya, putting out system atau maklon dalam industri garmen. Itu tergolong WFH. Para perajin bekerja di rumah masing-masing mengerjakan satu bagian dari pakaian, misalnya bordir pada krah. Tidak perlu hadir di pabrik garmen.

Contoh lain, ghost writer. Cukup beberapa kali bertemu muka dengan klien. Selebihnya, duduk menulis di rumah.

Tapi harus diakui, Pandemi Covid 19 telah membuat WFH, untuk waktu yang cukup lama, sempat menjadi pola kerja dominan. Tujuannya membatasi intensitas mobilitas dan interaksi fisik di ruang publik, untuk menekan penularan Covid-19. 

Memasuki tahun 2022, saat pandemi mulai surut, pola WFO secara bertahap diberlakukan lagi. Masuk ke tahun 2023, seiring penghapusan status pandemi, pola WFO penuh diberlakukan kembali.

Sebenarnya, kembali ke WFO itu wajar. Kehadiran pekerja di tempat kerja lebih mendukung produktivitas, khususnya di sektor riil. 

Persoalannya kemudian, terjadi gejala resistensi atau inersia sosial. Para pekerja yang sudah kadung nyaman dengan pola WFH, cenderung menolak untuk kembali WFO. 

Kembali ke pola WFO sejatinya adalah kembali pada kenormalan ruang dan waktu. Setelah selama WFH para pekerja dan anggota keluarganya mengalami abnormalitas ruang dan waktu. Suatu gejala yang tak sehat secara sosiologis dan psikologis. 

Saya akan coba jelaskan permasalahan itu. Sehingga nanti, mudah-mudahan, menjadi terang alasannya, mengapa kita harus kembali ke pola WFO.

***

Kita sepakat dulu. Subyek yang dibicarakan di sini adalah Homo faber, manusia yang bekerja untuk memaknai hidupnya. 

Dalam konteks kehidupan manusia kerja itu, ruang dan waktu terbagi ke dalam dua kategori distingtif: domestik (rumah) dan publik (kantor, dalam arti luas). 

Dengan demikian, pertama, ada ruang domestik dan ruang publik yang terpisah secara tegas. Ruang domestik, rumah, adalah tempat kegiatan reproduksi -- tata-laksana internal keluarga/rumahtangga. 

Ilustrasi WFH dan WFO (Foto: hadirr.com)
Ilustrasi WFH dan WFO (Foto: hadirr.com)

Sedangkan ruang publik adalah tempat kegiatan produksi -- mengusahakan nafkah keluarga/rumahtangga.

Kedua, konsekuensi dari yang pertama, ada pemisahan waktu antara kegiatan domestik dan publik. Dalam konteks kehidupan manusia kerja modern kini, waktu publik atau kegiatan produksi lazimnya eight to five, pukul 08.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. 

Rumusnya adalah 9/24 (9 dari 24 jam) dalam rentang 5/7 (5 dari 7 hari dalam seminggu). Total waktu kerja formal dengan begitu adalah 5 x 9 = 45 jam/minggu.

Selebihnya 15 jam/hari, kecuali hari libur, adalah waktu domestik atau kegiatan reproduksi, termasuk tidur malam.

Berdasar distingsi ruang dan waktu tersebut, dapat dibuat tipologi ruang dan waktu WFO dan WFH sebagai berikut ini.

Tipologi Ruang dan Waktu WFO dan WFH (Diolah sendiri/Dokpri)
Tipologi Ruang dan Waktu WFO dan WFH (Diolah sendiri/Dokpri)

Dua tipe tersebut, yaitu pola ruang-waktu WFO dab WFH, adalah tipe-tipe ideal ala Weberian. Dalam kenyataan, tak ada yang persis seperti itu.

Dengan mengambil aktivitas per hari (24 jam) di hari kerja, tipe atau pola WFO membuat distingsi yang tegas antara ruang domestik dan ruang publik. 

Ruang domestik adalah domein alokasi waktu reproduksi. Sedangkan ruang publik adalah domein alokasi waktu produksi atau kegiatan nafkah.

Tipe WFO adalah tipe normal. Dia memungkinkan perimbangan antara waktu kerja di luar rumah -- atau di tempat kerja -- dan waktu pemulihan/pemeliharaan diri di dalam rumah. 

Pola WFO memungkinkan kehidupan yang sehat secara sosiologis dan psikologis. Ada pembagian ruang dan waktu yang tegas, tidak campur-aduk atau bahkan berkonflik.

"Sakralitas" ruang dan waktu terjaga. Ruang publik tetap sebagai arena alokasi waktu kerja (produksi), sementara ruang domestik tetap sebagai karena alokasi waktu pemeliharaan (reproduksi).

Tidak demikian dengan pola WFH.

WFH mengacaukan distingsi ruang dan waktu. Fungsi ruang domestik berubah secara radikal. Tidak lagi semata sebagai ranah alokasi waktu reproduksi. Tapi juga sekaligus ranah alokasi waktu produksi.

Persepsi dan praksis ruang dan waktu pun mulai berubah. Rumah tidak lagi dilihat sebagai ruang reproduksi semata. Tapi juga sebagai ruang produksi, kantor tempat kerja nafkah.

Persepsi dan praksis waktu kerja pun tidak lagi 9/24 dan 5/7. Tapi cenderung menjadi 24/24 dan 7/7, untuk mengatakan "tak kenal waktu". 

Pada pola WFH keteraturan telah digantikan oleh kekacauan. Tak ada lagi distingsi tegas antara reproduksi dan produksi. Ruang kegiatan domestik dijajah oleh ruang kerja produksi. Waktu reproduksi dikorupsi oleh waktu produksi. 

Sebagai contoh, rapat-rapat daring bisa dilakukan pada pukul berapa saja, siang dan malam, dengan durasi lepas. Bahkan bisa terjadi rapat beruntun sepanjang hari. Sehingga tak ada lagi waktu khusus untuk reproduksi yang layak semisal mandi, makan, bermain dengan anak, dan istirahat.

Perintah kerja dari atasan atau kepada bawahan juga bisa tetjadi pukul berapa saja dan harus segera dieksekusi. Dan itu bisa berarti mengokupasi ruang dan waktu reproduksi.

Konflik antara pemangku kegiatan produksi dan pemangku reproduksi bisa tersulut. Istri, jika dia pemangku reproduksi, bisa singit pada suami yang dinilai menginvasi domein domestik miliknya. Istri kehilangan kedaulatan penuh di ruang domestik.

Untuk pertama kalinya, karena WFH, orang mengalami burn out di dalam rumah. Tak lain karena tekanan penjajahan kegiatan produksi ke dalam rumah. Itu membuat pekerja kesulitan mengatur keseimbangan antara kerja dan pemeliharaan diri.

Terjadilah gejala aneh. Orang keluar dari rumah, masuk ke ruang publik, bukan untuk bekerja (produksi) tapi untuk rekreasi atau penyegaran diri (reproduksi). 

Stres akibat hantaman kegiatan publik terhadap hak reproduksi di satu ruang yang sama, yaitu ruang domestik, telah mengubah persepsi dan praksis ruang publik. Ruang publik dilihat sebagai ruang untuk alokasi waktu reproduksi, semacam rekreasi, keluar dari "kesumpekan rumah".

Atau, ekstrimnya, "merdeka dari rumah".

Rumah, atau ruang domestik, dengan begitu menjadi tidak sehat. Sakralitasnya sebagai ruang pemulihan diri telah dinodai kegiatan publik atau produksi. 

***

Mudah-mudahan paparan di atas cukup jelas. Tidak bikin bingung lalu pusing.

Intinya, hendak dikatakan bahwa pola WFH itu dalam praksisnya menyebabkan ketak-sehatan sosiologis dan psikologis. Orang tak bisa lagi membuat perimbangan antara "kerja untuk modal" dan "kegiatan pemulihan/pemeliharaan diri". 

Kegiatan reproduksi dan produksi terlibat dalam konflik ruang dan waktu di dalam rumah. Hakikat rumah sebagai lokus harmoni reproduktif terdisrupsi oleh kegiatan publik atau produksi.

Jadi, sudah jelas, bukan?

Kita harus meninggalkan WFH dan kembali ke pola WFO untuk mencegah kerusakan pada "Rumah" -- dengan hurup R besar. Jangan sampai kita kehilangan "Rumah" di dalam rumah sendiri. 

Pastilah ada ketaksetujuan pada uraian tentang perubahan persepsi dan praksis ruang dan waktu akibat WFH di masa pandemi ini. 

Baiklah. Kita ambil saja jalan tengah dengan menjadikan perubahan persepsi dan praksis ruang dan waktu itu sebagai hipitesis. Selanjutnya, silahkan para sosiolog, psikolog, dan ahli manajemen menguji kebenarannya. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun