Ketiga, penurunan kualitas budidaya akibat cekaman abiotik (penurunan mutu lahan, kekeringan, banjir) dan biotik (serangan varian baru hama dan penyakit tanaman).
Di atas  kondisi itu, dapat dibuat proyeksi ketersedian beras Indonesia tahun 2021-2050.Â
Asumsinya, luas sawah baku 7.4 juta hektar dan luas panen  11.1 juta ha/tahun (IP 1.5) konstan.  Produktivitas awal 5.14 ton/ha (2021). Laju kenaikan produktivitas 0.25% per tahun sehingga produktivitas akhir 5.53 ton/ha (2050). Â
Hasilnya produksi padi 2050 adalah 61.4 juta ton GKG atau setara beras 39.3 juta ton. Ditaksir jumlah penduduk 330.9 juta jiwa. Dengan asumsi konsumsi beras per kapita 124 kg/tahun, maka total konsumsi beras adalah 41.0 juta ton. Terjadi defisit 1.7 juta ton. Â
Ukuran swasembada pangan FAO (1999), yaitu produksi domestik 90% kebutuhan domestik, lebih longgar. Indonesia tahun 2050 sudah terhitung swasembada beras pada angka produksi 36.9 juta ton atau defisit 4.1 juta ton. Â
Tapi defisit itu harus ditutup dengan impor. Seperti tahun 2022 ketika Bulog mengimpor beras 200,000 ton. Padahal Indonesia swasembada beras pada angka produksi 31.3 juta ton.
Padi Hibrida sebagai Solusi
Proyeksi di atas terlalu optimis. Â Tidak memperhitungkan tren penurunan luas sawah akibat konversi peruntukan lahan.
Berdasar data tren konversi sawah 2013-2015 di 9 provinsi sentra padi, riset Mulyani dkk. (2016) memperkirakan luas baku sawah 8.1 juta ha (2015) akan menyusut jadi 6.0 juta ha tahun 2045.
Jika angka 6.0 juta ha itu bertahan sampai 2050, maka luas panen (IP 1.5) adalah 9.0 juta ha.  Sehingga produksi padi adalah 49.8 juta ton GKP atau setara beras 31.9 juta ton. Artinya defisit 9.1 juta ton, sebab kebutuhan konsumsi  41.0 juta ton. Â
Berarti produksi domestik hanya 77.8% dari kebutuhan domestik. Â Jauh di bawah garis ketahanan pangan (90%). Harus impor untuk mencegah rawan pangan. Â