Samisara Purasa, Sipahaonom. Hari keempatbelas bulan September dalam parhalaan, penanggalan Batak.  Esoknya Tula, hari kelimabelas,  saat purnama menerangi malam.
Samisara Purasa itu hari raja. Hari baik untuk menghelat pesta besar, pesta muda-mudi, dan mengantar anak ke rumah kakek-neneknya.Â
September belum basah. Â Curah hujan masih rendah. Â Sesekali hujan lebat. Beberapa kali gerimis. Â Lebih sering hari cerah.
Seperti malam itu. Â Malam Samisara Purasa, ketika rembulan nyaris purnama menyinari Tanah Batak. Tak terkecuali Sosorbinanga, kampung Ama Rumiris, ayah Berta -- pariban Poltak.
Poltak dan neneknya sedang berkunjung ke situ. Ada urusan adat lingkup kerabat besar nenek Poltak.
Kerabat besar hendak membangun batu na pir, makam semen, untuk leluhur mereka di Hutabayu, Tanah Jawa. Ompu Sotaronggal, itu nama leluhur mereka. Kakek dari Ompu Soaduon -- ayah Ama Rumiris, nenek Poltak, dan Amani Purbatua yang tinggal di Hutabayu.
Untuk biaya pembangunan, kerabat besarâ…• Ompu Sotaronggal bersepakat melakukan toktok ripe, iuran per rumahtangga.
"Paraman Ama Rumiris. Aku tak perlulah ikut rapat keluarga di Hutabayu, ya." -- paraman, sebutan dari perempuan untuk putra saudara laki-lakinya.
Nenek Poltak tahu diri. Dia berstatus boru, pihak penerima istri bagi bapak dan kakeknya. Rapat pembangunan makam di Hutabayu itu adalah urusan namardongan sabutuha, semua anak dan cucu laki Ompu Sotaronggal yang sudah berkeluarga.Â
"Bah, nauli, Namboru," jawab Ama Rumiris. Namboru adalah status sekaligus panggilan untuk saudara perempuan ayah. Suaminya, amangboru.