Seratus tahun. Tak seorangpun perumus "Visi 100 Tahun" itu akan menikmati hasilnya tahun 2092. Tapi setiap menteri olahraga dan pengurus asosiasi sepakbola di Jepang konsisten menapakinya.
Kenapa? Karena target "Visi 100 Tahun" itu bukan target individu pejabat atau pengurus sepakbola nasional.Â
Itu target bangsa. Kelak bangsa Jepanglah yang menikmatinya.
Bangsa Indonesia?
Ah, bangsa  kita tak pernah punya target sepakbola. Kita hanya ingin jadi juara hari ini, besok, dan lusa. Tanpa landasan visi, strategi, dan sasaran besar.
Visi, strategi, dan target sepakbola kita hanya sejauh lima tahun kepengurusan PSSI. Atau mungkin 1o tahun kalau ketua umum tak keburu jadi gubernur atau anggota dewan.
PSSI itu mengelola sepakbola nasional selayaknya memasak mie instan. Â Mau makan soto, masak mie instan rasa soto. Mau makan rendang, masak yang rasa rendang. Â Mau makan saksang, masak yang rasa saksang.
Lalu PSSI sibuk mengupah pelatih asing dan menaturalisasi pemain asing.  Dibungkus dengan promosi hebat.  Lalu umbaran harapan besar jadi juara  Piala AFF, Piala Asia, dan kelak Piala Dunia.
Dan kita? Â Kita adalah bangsa yang lugu -- tipis batasnya dengan dungu -- yang selalu percaya pada harapan-harapan yang dipasarkan PSSI. Â
Atau, mungkin, sebenarnya kita tidak sungguh-sungguh percaya. Hanya saja, kita terlalu berharap. Sehingga mudah percaya pada setiap janji.Â
Lantas apa yang kita terima? Â Tidak ada soto, rendang, dan saksang sejati. Â Semua adalah harapan kosong.