Inilah tabiat bangsa kita: "menginjak yang terjerembab, menuntun yang berdiri".
Orang Batak Toba bilang: "situnjang na gadap, sitogu naung jongjong."
Itu fakta. Bukan hipotesa, apalagi fiksi.
Timnas Indonesia yang sedang berlaga di Piala AFF 2022 adalah objek penderita terbaru.
Timnas kita itu baru saja gagal melangkah ke babak final. Kalah agregat gol 0-2 dari Timnas Vietnam pada laga tandang di Hanoi, Senin 8 Januari 2023.
Hujat kepada Timnas Indonesia langsung berhamburan. Kepada pelatih dan para pemain.
Media massa daring dan media sosial riuh dengan ujaran "Timnas Indonesia buruk", "STy mundur", Â "Amat & Klok gendong 9 batang kayu", dan sebagainya.
Sadis, sungguh sadis.Â
Sudah kalah, dihujat pula. Sudah terjerembab, diinjak pula.Â
Sakitnya itu tak hanya di sini. Tapi di sana sini. Lipat ganda.
Tapi sadarkah kita? Ketika kita menghujat Timnas Indonesia, sesungguhnya kita sedang menghujat bangsa sendiri.
Tahu bangsa? Itu imagined community, komunitas terbayang menurut konsepsi Ben Anderson.
Bangsa Indonesia. Sebuah imajinasi politik. Suatu realitas yang hidup sejauh kita bayangkan.
Imajinasi yang teramati sebagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang dinyatakan sebagai representasi bangsa.
Timnas Indonesia itu adalah non-pemerintah yang menjadi representasi bangsa. Mereka berjuang di bawah panji-panji bangsa. Indonesia Raya, Merah Putih, dan Garuda Pancasila.
Jadi ketika kita bilang "Timnas Indonesia buruk", kita sedang bilang bangsa ini, kita sendiri, buruk.
Hanya saja, karena rata-rata IQ bangsa ini konon 78.49 (2022), maka dipikir Timnas itu sendirilah -- kita pikir dia entitas liyan -- yang buruk. Â
Kita lebih suka meremukkan cermin saat dia memantulkan wajah buruk kita. Kita malas berpikir lebih jauh. Pikiran kita hanya sejauh jangkauan pancaindera. Juga kesadaran kita.
Sangat jarang kita berpikir tentang kelemahan bangsa sebagai sistem. Padahal di situlah letak perkara.
PSSI dan Menpora sebagai representasi bangsa -- dan negara dalam arti kuasa politik -- gagal merumuskan suatu grand strategy, strategi besar sepakbola nasional.
Jepang boleh dirujuk untuk strategi besar semacam itu. "Visi 100 Tahun Sepakbola Jepang 1992-2092". Â Dua target Jepang tahun 2092: punya 100 klub profesional dan Juara Piala Dunia.
Seratus tahun. Tak seorangpun perumus "Visi 100 Tahun" itu akan menikmati hasilnya tahun 2092. Tapi setiap menteri olahraga dan pengurus asosiasi sepakbola di Jepang konsisten menapakinya.
Kenapa? Karena target "Visi 100 Tahun" itu bukan target individu pejabat atau pengurus sepakbola nasional.Â
Itu target bangsa. Kelak bangsa Jepanglah yang menikmatinya.
Bangsa Indonesia?
Ah, bangsa  kita tak pernah punya target sepakbola. Kita hanya ingin jadi juara hari ini, besok, dan lusa. Tanpa landasan visi, strategi, dan sasaran besar.
Visi, strategi, dan target sepakbola kita hanya sejauh lima tahun kepengurusan PSSI. Atau mungkin 1o tahun kalau ketua umum tak keburu jadi gubernur atau anggota dewan.
PSSI itu mengelola sepakbola nasional selayaknya memasak mie instan. Â Mau makan soto, masak mie instan rasa soto. Mau makan rendang, masak yang rasa rendang. Â Mau makan saksang, masak yang rasa saksang.
Lalu PSSI sibuk mengupah pelatih asing dan menaturalisasi pemain asing.  Dibungkus dengan promosi hebat.  Lalu umbaran harapan besar jadi juara  Piala AFF, Piala Asia, dan kelak Piala Dunia.
Dan kita? Â Kita adalah bangsa yang lugu -- tipis batasnya dengan dungu -- yang selalu percaya pada harapan-harapan yang dipasarkan PSSI. Â
Atau, mungkin, sebenarnya kita tidak sungguh-sungguh percaya. Hanya saja, kita terlalu berharap. Sehingga mudah percaya pada setiap janji.Â
Lantas apa yang kita terima? Â Tidak ada soto, rendang, dan saksang sejati. Â Semua adalah harapan kosong.
Timnas Indonesia kalah, kalah, dan kalah lagi. Â
Kita marah, Â merasa telah dibohongi. Â Lalu kita menghujat PSSI, Timnas, pelatih, dan para pemain.
Tapi siapa sebenarnya yang kalah? Siapa sebenarnya yang kita hujat?Â
Bangsa Indonesia! Bangsa kita!
Begitulah kita dibentuk PSSI dan jejaringnya menjadi sebuah bangsa yang menghujat diri sendiri atas kekalahan-kekalahan kita. Kita jatuh terjerembab, lalu kita menginjak diri sendiri.
Seperti itulah kita memanggungkan bangsa Indonesia di arena sepakbola! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H